TURUN TANGAN ; Menyambut 4.000 Orang sekampung
Oleh : Suryadin Laoddang
Apa jadinya bila Anda terlibat membantu 4.000 “saudara sekampung “ yang terkatung-katung di kota tinggal Anda? Ya, 4.000 orang asal Sulsel yang terlantar di Yogyakarta saat menghadiri Mukatamar ke-46 Muhammadiyah bulan Juli lalu, membuat citizen reporter Suryadin Laoddang dan 80-an warga dan mahasiswa Sulsel turun tangan mencari penginapan sekaligus menjadi pemandu wisata. Pengalaman berharga yang dipetik: nama baik daerah tercoreng gara-gara tamu yang kurang ajar dan tidak menjaga kebersihan. (p!)
Jogja, Fully Booked. inilah jargon yang begitu lekat dibenak saya. Di akhir tahun 1990-an, tulisan sablonan ini, dulu gampang dapat ditemui di baju kaos Dagadu Jogja. Meski itu adalah Dagadu palsu, setidaknya jargon itu adalah penegas predikat Jogja sebagai kota wisata. Bagi saya saat itu, jargon tersebut terkesan sangat berlebihan. Hampir 15 tahun saya menetap di Yogyakarta, Jogja tetap saja leluasa dan menyisakan ruang bagi siapa saja yang datang berwisata. Jogja tidak pernah betul-betul penuh, bahkan ketika perhelatan nasional dan internasional sekalipun, tidak juga ketika sedang berlangsung kampanye pemilu, apalagi hanya sekedar konser musik. Kini, tepatya akhir Juni dan awal Juli 2010, saya akhirnya mengakui jika memang Jogja Fully Booked. Penuh sesak dengan pelancong dari segenap penjuru tanah air bahkan dunia. Mereka tersihir, tersedot medan magnet yang luar biasa dahsyat. Berbondong-bondong, juataan manusia berkumpul di Kota Yogyakarta, Kota Budaya, Kota Pelajar, Kota Pendidikan dan… Kota Muhammadiyah.
Ya, magnet tersebut, adalah Muhammadiyah. Sebuah Organisasi Islam yang sedang menyambut masa keemasannya. Tahun 2012 nanti, Muhammadiyah genap berusia 100 tahun. Tak salah jika Muktamar ke-46 ini disebut sebagai Muktamar 1 Abad Muhammadiyah. Momen 100 tahun ini juga dikemas sentuhan emosional. Jika sebelumnya, Muktamar Muhammdiyah dilaksanakan Malang, Jakarta, dan Banda Aceh, maka Muktamar kali ini kembali kandang, mengingat Yogyakarta adalah kota tempat lahirnya Muhammadiyah. Muktamar kali ini, semakin menarik karena dilaksanakan berbarengan dengan Muktamar para Organisasi Otonomon (Ortom) Muhammadiyah seperti Muktamar Aisyiyah ke-46, Muktamar Ikatan Pelajar Muhammdiyah ke-17 dan Jambore Nasional Pandu Hisbul Wathan ke-2. Jika masing-masing Ortom menghadirkan 2.500 peserta Muktamar, ditambah dengan peserta, peninjau dan penggembira, maka jumlahnya mencapai 1,5 Juta orang.
Bayangkanlah 2 Juta orang hadir dalam waktu bersamaan di Provinsi DIY, yang luasnya hampir setara dengan wilayah Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
Sepanjang jalan hingga sudut-sudut gang dan kampung di Yogyakarta, penuh dengan atribut Muhammadiyah. Berbagai perusahaan dan instansi pemerintah berlomba memasang spanduk ucapan selamat Muktamar, dengan pilihan kata dan desain yang apik. Tak ketinggalan puluhan partai politik para personil kadernya juga melakukan hal serupa. Spanduk lainnya datang dari Nahdatul Ulama dan Ahmadiyah Lahore Indonesia. Tak hanya spanduk, bentuk dukungan juga berupa bantuan tenaga pengamanan dari Gerakan Pramuka, BANSER NU, Paguyuban Juru Parkir Mataram hingga bantuan koordinasi dari ORARI. Untuk mengantisipasi terbatasnya sarana transportasi bagi para peserta Muktamar, panitia menyediakan 50 armada bis gratis, jasa taksi resmi dan menerjunkan jasa Ojek Muktamar. Para tukang ojek tersebut, berseragam rompi hijau dengan logo Muktamar dan Tulisan “Ojek Muktamar”, lengkap dengan nomor dada masing-masing. Uniknya, para tukang ojek dadakan tersebut berasal dari berbagai kalangan. Mulai dari tukang ojek tulen, hingga ibu rumah tangga dan mahasiswi yang turut mengais rejeki dadakan. Maka wajarlah, jika Jogja sangat Muhammadiyah kali ini.
Puncak kemacetan terjadi pada tanggal 3 Juli 2010. Sejak pukul 01.00 ratusan bis perlahan memasuki Kota Yogyakarta. Tujuannya satu, mengantarkan para penumpang menuju Stadion Mandala Krida, tempat digelarnya acara pembukaan Muktamar. Macet, itu sudah pasti. Perjalanan dari Malioboro hingga Mandala Krida dengan sepeda motor yang biasa ditempuh sepuluh menit, kini harus ditempuh lebih dari satu jam. Ini belum termasuk dengan warga Kota Yogyakarta sendiri, yang memilih jalan kaki menuju stadion. Konsep acara pembukaan dengan hiburan skala penuh yang dirancang panitia rupanya menyihir warga berdatangan ke stadion dengan daya tampung hanya 15.000 orang itu. Selain macet, kehadiran mereka juga membawa rejeki bagi para pemilik hotel dan penginapan di Kota Yogyakarta dan sekitarnya, baik hotel berbintang, hotel melati, penginapan keluarga, dan villa. Dua bulan sebelum Muktamar, semua kamar hotel telah penuh antara tanggal 1 hingga 10 Juli.
Belajar dari Muktamar sebelumnya, kali ini panitia juga menyiapkan ratusan ruang kelas dari berbagai sekolah dan perguruan tinggi milik Muhammadiyah dan non-Muhammadiyah untuk menampung para penggembira Muktamar. Selain itu, rumah penduduk, balai desa dan kecamatan juga dipersiapkan. Tercatat beberapa sekolah negeri di daerah Klaten dan Magelang juga menampung para penggembira muktamar yang tak tertampung lagi di Yogyakarta.
4.000 orang sekampung
Ahad, 15 Juni 2010, sepulang menjemput istri, bersama Rafi putra kami, sengaja pagi itu kami mampir di rumah Rusdy Haysal, salah seorang pengurus Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai adik, ini bentuk sipakalebbi saya kepada yang lebih tua, sekali-kali mampir bersilaturahmi. Setengah jam berlalu dengan obrolan ringan, tiba-tiba datang Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan didampingi beberapa aktivis Muhammdiyah asal Sulawesi Selatan yang kini aktif di Yogyakarta. Kedatangan mereka bukan tanpa alasan: 4.000 anggota rombongan penggembira Muktamar asal Sulawesi Selatan, hingga hari itu belum mendapatkan tempat untuk sekedar menginap dan melepaskan penat. Runyamnya lagi, seluruh sekolah dan perguruan tinggi serta pondok pesantren dan masjid Muhammadiyah sudah habis dipesan rombongan dari daerah lain.
Saya bersama Rusdy dalam waktu tidak sampai seminggu, berhasil mendapatkan tempat menginap bagi rombongan-rombongan tersebut telah resmi mendapatkan penginapan. Beruntunglah sekolah-sekolah non-Muhammdiyah di Yogyakarta, dengan tangan terbuka, bersedia menerima rombongan SulSel. Tempat-tempat tersebut diantaranya, SMK Koperasi Yogyakarta, MAN II Yogyakarta, SMAIT Abu Bakar Ali Yogyakarta, Kompleks Perguruan PIRI Yogyakarta, SMA Institut Indonesia Yogyakarta hingga SMA Taman Madya Taman Siswa Yogyakarta.
Lewat koordinasi antara KKSS-DIY dan Ikatan Kekeluargaan Pelajar Mahasiswa Indonesia (IKAMI) SulSel, tak ketinggalan Asrama Mahasiswa Sul-Sel tingkat Propinsi dan Kabuapaten/Kota di seluruh Yogyakarta juga dipakai untuk menampung anggota rombongan lainnya. Aflan, pengarah penggembira Muktamar SulSel menjelaskan, terkatung-katungnya penginapan bagi 4.000 rombongan Sul-Sel adalah akibat buruknya koordinasi panitia pusat, terutama seksi akomodasi. ‘Sejatinya daftar dan infaq para peserta sudah kami kirimkan sejak bulan Januari 2001. Saat kami konfirmasi, jawaban yang kami terima “Sudah beres”. Inilah yang membuat kami tenang,” tuturnya.
Di sisi lain, Aflan juga mengakui, mereka salah karena tidak melakukan komunikasi langsung dengan tempat-tempat penginapan yang diinginkan.
Tapi di balik kesusahan pasti ada kemudahan. Inilah ungkapan para peserta Muktamar asal SulSel, saat tiba di Yogyakarta pada tanggal 1 Juli 2010. Meski sempat terkatung-katung dengan kejelasan tempat penginapan, tapi akhirnya mereka beruntung mendapatkan penginapan yang justru sangat dekat dengan lokasi pembukan muktamar di stadion Mandala Krida. Rombongan Kota Makassar misalnya, yang menginap di Kompleks perguruan PIRI hanya berjarak 50 meter dari stadion, begitupula dengan rombongan Kab. Gowa di SMA “II” yang berjarak 300 Meter. Paling jauh adalah rombongan Kab. Takalar, di Akademi Tehnik PIRI sekitar 3 KM. Maka wajar jika banyak warga Sul-Sel yang sukses masuk, dan duduk di tribun VIP, tribun terbuka maupun tribun tertutup.
Kedatangan rombongan SulSel ini juga termanjakan oleh para pemandu yang melibatkan para mahasiswa Sulsel yang menempuh pendidikan di Yogyakarta. Sebanyak 80 Mahasiswa dikerahkan oleh IKAMI dan KKSS DIY untuk menjemput dan memandu bis pembawa rombongan. Mulai dari perbatasan timur Yogyakarta di Candi Prambanan hingga ke penginapan masing-masing. Andi Rahmat Tonro, salah seorang penjemput dan juga Ketua Umum IKAMI Sulsel Cabang DIY menuturkan, “Teman-teman mahasiswa ini kami kumpulkan dari berbagai asrama, merekalah yang akan menjemput para anggota rombongan yang akan menginap di asrama masing-masing. Ada juga yang kami minta menjemput rombongan dari Kabupaten masing-masing lalu diantar ke penginapan masing-masing.’
Hadirnya bazaar murah Muktamar di sekitar stadion Mandala Krida juga menjadi surga bagi rombongan Muhammadiyah Sul-Sel. Maklum, orang Sulsel terkenal raja dan ratu belanja di Yogyakarta. Banyak di antara mereka sengaja berbelanja untuk dijual kembali di kampung. Di seputaran SMK Koperasi yang dihuni sekitar 800 rombongan Aisyiyah dari Sulsel terdapat 5 Kompleks pasar murah. Masing-masing di SMK Negeri 6 Yogyakarta, Jalan Sukonandi, Jalan Kapas I, Jalan Kapas II, dan Jalan Kusumanegara. Ini belum termasuk pedagang kaki lima atau para penduduk sekitar yang berjualan di halaman rumah masing-masing.
Sayang, karena nila setitik rusak susu sebelanga. Ulah beberapa penggembira asal Sulsel, mencoreng citra dan nama baik warga Muhammdiyah Sul-Sel. Saat berwisata di kota Semarang, 8 orang anggota rombongan sengaja tidak membayar makanan yang telah disantapnya. Bahkan dengan gaya arogannya justru menggertak dan mengintimidasi sang manajer rumah makan. Belum lagi, keluhan salah satu pemilik stan bazaar yang tak mau disebutkan identitasnya. Konon, ada penggembira asal Sulsel yang masuk ke stan memilih dan memisahkan puluhan lembar pakaian, katanya untuk dijual lagi, akan datang besok pagi untuk membayar dan mengambilnya. “Sampai dengan acara penutupan orangnya tidak datang mas, padahal barang sudah saya bungkus rapi. Karena dia minta disimpan, ya saya simpan. Meski ada yang berminat tidak saya lepas. Kalau tidak jadi ambil mbok ya saya dikabari. Kalo begini saya rugi, barang seharusnya laku, jadi tidak laku, mana tidak ninggal uang muka lagi”, keluh sang pemilik stan.
Masih ada lagi ulah beberapa peserta perempuan asal Sulsel yang menyelipkan pembalut bekas dilaci meja belajar milik para siswa di beberapa sekolah tempat mereka menginap. Sayang sungguh sayang, masyarakat Jogja sudah menjadi tuan rumah yang baik, tapi para penggembira, justru tidak tahu diri dan tidak mau belajar menjadi tamu yang baik. Maka wajar, jika banyak warga Jogja yang membenarkan bahwa orang Sul-Sel itu kasar dan brutal. Citra yang sebelumnya sudah melekat di balik maraknya aksi anarkis yang banyak tayang di media cetak dan elektronik. (p!)
*Citizen reporter Suryadin Laoddang dapat dihubungi melalui email adinwajo@yahoo.com
Post a Comment for "TURUN TANGAN ; Menyambut 4.000 Orang sekampung"