LAODDANG Jr, NORMAN KAMARU DAN JUSTIN BIEBER.
Laoddang Jr, Norman Kamaru dan Justin Bieber.
Hari ini saya telat masuk kantor. Seharusnya jam 07.00 WIB sudah dikantor, hari ini baru tiba 29 menit kemudian. Parah !. Telatnya bukan karena jalanan macet, kesiangan, atau ban bocor dijalan. Tapi karena disandera sama anakku sendiri. Saat sarapan pagi, anakku dengan tergopoh-gopoh menghampiri. “Ayah, jalan-jalan dulu yok”, sapanya. “Ok nak”, jawabku. Berkeliling kampung melihat Kerbau, Sapi, Kambing, Itik dan Kuda, adalah kesenanganya. Dulu, ini kami lakukan saban sore hari, sepulang kerja. Kini, kebiasannya itu terkalahkan. Ayahnya harus menuanaikan amanah lain tiap sore hingga malam hari (maafkan ayahmu, anakku). Rupanya anakku memang cerdas, tak dapat jatah disore hari, jatah tiap pagi tak mengapa. Mumpung ayah dirumah, pikirnya. Tak peduli, ayahnya harus berangkat pagi-pagi mengais rejeki.
Pun serupa dengan hari ini, kembali ia minta jatah. Hari ini agak berbeda, jatahnya itu minta tambah, lebih dari biasanya. Kali ini ia minta tambah berkeliling dua kali dilapangan sepakbola desa, setelah itu mengajak ke pasar desa, ingin beli sate katanya, untung naik motor, tidak jalan kaki. Permintaan dan rengekannya membuatku tidak berkutik. Terlebih suara tangisnya yang meraung-ruang bisa terdegar satu Rukun Tetangga (RT), mungkin turunan Ayahnya yang mantan Gembala Kerbau. Itulah senjata pamungkasnya, ditambah dengan sentakan kakinya yang bertenaga. Yang satu ini juga mungkin turunan dari Ayahnya yang konon bandel dan suka ngamuk dimasa kecilnya.
Najmi Rafif Abiyyu Laoddang, nama lengkapnya. Rafif, begitu kami memanggilnya. Semoga telinga dan lidahnya akrab dengan huruf “R” dan “F”. Harap akmai, ia tidak terlalu lama menikmati masa cadelnya. Menjelang 3 tahun usianya, kecerdasannya semakin tumbuh dan berkembang. Tak jarang, kami (orang tuanya) kewalahan menghadapi tingkah dan ocehannya. Saat bundanya sedang memasak, ia turut membantu. Saat ayahnya bersih-bersih rumah, ia turut membantu. Saat tante dan om-nya lagi belajar, ia turut hadir. Meski judulnya hanya satu, membantu untuk mengacau. Saat kami sekeluarga berjualan di Pasar Minggu Timoho, ia pun ikut serta. Tak jarang, keuntungan kami hari itu, habis untuk belanja mainan dan jajan sang Jagoan kami ini.
Saat ada tamu bertandang, ia takkan ketinggalan, duduk dikursi yang sudah “dipantenkan” oleh dirinya sendiri sebagai kursi kebesaran. Secangkir teh juga harus disediakan untuknya, jika tidak jatah Ayah atau tamu yang akan disruput habis. Satu lagi, setelah mandi, maka ia akan memilih pakaian yang akan dikenakannya sendiri. Begitupun ketika hendak bepergian, tak peduli aturan padu padan busana. Tak peduli, kaos dan celananya kadang terbalik antara bagian depan dan belakang, bahkan bagian dalam dan luar. Bagi Rafi, asik-asik aja. Jangan sesekali memaksanya, hanya ribut ujung-ujungnya. Perlahan kami bujuk dan kami terankan kepadanya, meski itu sulit, tapi kami yakin bisa. Hingga hari ini, hanya anjuran membenarkan sandal dan sepatunya saat terbalik, antara kiri dan kananlah yang sudah mampu diterimanya.
12 jam sebelumnya, Ba’da Shalat Isya saya tiba dirumah. Sekalagi tergopoh-gopoh ia menyambutku diteras rumah. “Ayah dari mana, bawa apa ?”, selalu itu yang ia tanyakan. Kali ini, segaja saya tidak membawakan apapun. Takut terhinggap budaya konsumerisme, pikirku. Padahal, memang kebetulan duit kantong memang tinggal Tujuh Ribu Rupiah. Sambil melepas sepatu dan jaket, mataku tak lepas, lekat menatap Rafif yang sedang berusaha memanjat dan duduk di jok motor. Tiba-tiba, “Ayah-ayah !!!” serunya, “Chaiyya – Chaiyya - Chaiyya – Chaiyya”, sekarang ia bernyanyi dengan kedua tangan diangkat keatas. Akh, virus Chaiyya Norman Kamaru, sukses menulari anakku. Pemberitaan media yang bombaptis juga terbukti sukses menyebarkan virus tersebut. Rafif, tak juga berhenti melagukan lagu Bolywood tersebut, ditambah teriakan “Yes !!” diakhir lagunya makin membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Kubiarkan saja Rafif asyik dengan ulahnya tersebut, tak baik mencabut sang Anak dari dunia dan kesenangannya. Kubiarkan ia berekspresi dan tertawa pula, kelak tentu ada waktu bagiku untuk membimbingnya, pikirku. Mencabut anak dari dunianya, hanya membuat jiwanya makin kerdil, takut mencoba dan akhirnya menjadi manusia-manusia yang kalah sebelum bertanding, pecundang. Bagiku, ulahya kali ini sangat menghibur dan membatuku lepas dari kepenatan.
Kini makin kusadari, tanyangan TV terbukti “terlalu amat sangat efektif sekali” dalam membentuk dan mempengaruhi perilaku anak-anak. Televisi tidak lagi sekedar wahana hiburan, tetapi lebih hebat dari itu. Menjadi rujukan dan wahana peniruan (what they see is what they do). Secara terang-terangan, anak-anak sebagai salah satu permirsa dan konsumen terlah dicekoki budaya baru berbasis hukum pasar, konsumerisme. Dengan mata kepalaku sendiri, kusaksikan betapa anakku tak lagi doyan makan nasi dan wortel, makanan favoritnya dulu. Rafif sudah latah dan lihai menyebut merk makanan dan penganan tertentu. Kini anakku sudah tidak lagi suka menyanyikan lagu pua-pua nene’ (lagu anak ala Bugis), dulu sempat berganti dengan lagu cinta satu malamnya Melinda. Pun dengan lagu Cicak didinding, berganti dengan lagu “Beybe, Beybe, oooohhhh”-nya Justin Beiber. Tentu ini bukan salah anakku, semua salah orang tuanya. Salah Laoddang Senior, Ayahnya.
Post a Comment for "LAODDANG Jr, NORMAN KAMARU DAN JUSTIN BIEBER."