JOGJA, KOTA MODE ETNIK
JOGJA, KOTA MODE ETNIK
Suryadin Laoddang
Jika ada gelar baru
yang ingin disematkan untuk kota Yogyakarta, gelar “Kota Mode Etnik” adalah
gelar yang layak dan tepat untuk berdampingan dengan gelar kota pendidikan,
kota budaya dan kota wisata. Jika Bandung terkenal dengan mode casualnya, maka
Jogja kini makin menampakkan ciri khasnya sebagai kota dengan mode yang
berkesan etnik. Uniknya meski Yogyakarta adalah pusat budaya Jawa, kota
Yogyakarta tak hanya memberi ruang pada busana etnik Jawa. Melainkan juga
memberi ruang pada pada etnik lainnya untuk menampakkan identitas
budayanya melalui desain busana, baik
busana etnik maupun kontemporer modern. Arah perkembangan mode ini telah
“ditangkap” lalu dipertegas oleh majalah Kabare, sebuah majalah yang fokus
mengangkap sisi humanis, budaya dan pariwisata Yogyakarta. Lewat rubrik Gebyar-nya,
Kabare menegaskan Yogyakarta dan keragaman budaya Yogyakarta adalah inspirasi besar untuk dunia fashion. Para desainer terbaik Jogja dan Indonesia mampu memadukan desain busananya dengan latar belakang suasana alam dan heritage Jogja yang
eksotik.
Salah satu desainer
pendatang baru Yogyakarta yang mulai diperhitungkan saat ini adalah Muji Ananta
Lewat pagelaran busana tahunan Jogja Fashion Week bertajuk IN VINTAGE di Jogja
Expo Center (JEC) pada tanggal 6-11 november 2011. Ia sukses menghipnotis
pecinta fashion dan masyarakat luas yang hadir dalam event tahunan lewat
fashion show bertajuk Trap On The Border
Line yang menceritakan tentang lika-liku kehidupan. Selain itu dalam ia
juga berhasil meraih penghargaan busana terbaik. Tak pelak busana karyanya
menjadi incaran para penggila fashion, desain
iconnya bertajuk Trap On
The Borderline langsung laku dengan harga fantastis. Turut andil pula
beberapa desainer lainnya pada pagelaran busana kali ini. Muji Ananta sendiri
menyatakan keikut sertaaannya dalam pagelaran kali ini adalah upaya mencari
identitas lokal Jogja dalam dunia fashion.
Sayang, Muji Ananta masih
enggang berbagi cerita tentang prestasinya tersebut. Ia justru mengarahkan Inspirasi Usaha untuk menemui para partnernya.
Muji Ananta juga tidak berkenan berbagi tentang kalkulasi modal dan keuntungan
dari usahanya ini. “Tidak etislah kalau hal seperti itu diumbar” elaknya. Selain
sebagai desainer Muji Ananta dan partnernya juga sekaligus “tukang jahit”
desain mereka sendiri, bukan karena mereka enggang mencari tukang jahit,
melainkan mereka masih belum menemukan tukang jahit yang klop dengan mereka. Untuk
mensiasatinya, mereka memanfaatkan tukang jahit dengan sitem borongan lepas,
satu orang penjahit dikontrak untuk menyelesaikan satu desain khusus.
Kedepan, Muji Ananta
merencanakan untuk terus menggiring batik kontenporer/busana nuangsa etnik
untuk go Internasional dengan membuka gerai/outlet di Belanda, Malaysia, Pert
Australia, Afrika Selatan dan Brunai Darusalam. Sementara itu, Afif Syakur
salah satu desainer handal Jogja lainnya seperti dilansir oleh Jurnal Nasional (4-11-2011) menegaskan, bahwa pasar fashion dengan desain berbasis budaya memiliki peluang besar.
Dibutuhkan kreatifitas untuk menghasilkan produk desain yang laku di pasar. Perajin dan desainer di
daerah harus bersinergi agar
menghasilkan produk fashion yang laku di pasar, modifikasi motif batik
salah satunya," tegas Afif.
Pendapat Afif dibenarkan pula
oleh Ninik Darmawan, Ketua Asosiasi
Perancang, Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) Yogyakarta "Ada kekuatan tradisi masa lalu, budaya luhur Yogyakarta itu sumber
ide kreatif. Soal selera, konsumen fashion di Yogya, jelas berbeda dengan di Bandung atau Bali. Inilah istimewa dan uniknya Jogja," seperti
diungkapkan dalam acara Jogja Fashion Week, 2-6 November lalu.
Dalam pengamatan dan
informasi yang diperoleh Inspirasi Usaha
dari berbagai pihak, usaha ini tidak membutuhkan modal besar, cukup dengan
gambar dalam kertas. Bermodal gambar desain pada selembar kertas, biasanya para
perancang menawarkan desain busananya. Satu desain busana untuk Bridal (kebaya)
setidaknya membutuhkan modal awal kurang lebih sebesar 1.000.000, jika dirata-rata
laku seharga 6.000.000 silahkan anda hitung sendiri keuntungannya.
Maraknya bisnis
fashion busana etnik di Yogyakarta tidak terlepas dari ketersediaan bahan baku
dan sumber inspirasi yang melimpah. Kerapnya diadakan pameran potensi usaha
daerah Indonesia di Yogyakarta memudahkan para desainer Jogja untuk mendapatkan
bahan baku dari seluruh Indonesia, terutama kain etnik dari Sumatera, Sulawesi,
Bali dan Nusa Tenggara. Selain itu posisi Yogyakarta juga sangat memudahkan
untuk berburu bahan kain tenun dari Garut, Klaten dan Jepara. Tiga kota
tersebut dikenal sebagai penghasil kain tenun di pulau Jawa. Yogyakarta juga
memudahkan kami untuk memasarkan karya mereka, terutama kota Yogyakarta yang
telah menjadi kota tujuan wisata, yang mampu mendatangkan banyak pembeli kaum
“fashonista”. Terlebih karena Yogyakarta kerap melaksanakan pameran dan
pagelaran busana secara rutin dan tempo waktu seperti Jogja Fashion Week.
Sambil meneruskan
goresan pensil diatas kertas untuk desain barunya, Muji Ananta menyatakan kunci
untuk menghadapi persaingan bagi bisnis adalah inovasi dan kreatifitas. “Selain
itu, menjaga kepercayaan dan kepuasan konsumen juga tak boleh dilupakan”
tungkas sang asisten.
Usaha di bidang
Fashion tidak hanya tidak hanya menguntungkan bara desainer dan pemilik butik.
Di Yogyakarta saat ini telah menjamur berbagai butik-butik kecil dengan
kelebihan dan keunggulan masing-masing. Ada yang khusus busana batik, busana
berdasarkan jenis kelamin, umur bahkan ukuran tubuh. Usaha tukang jahit, tukang
bordir, pasang payet, kancing serta tukang potong juga mendapat imbasnya. Belum
lagi toko penyedia bahan baku bahan seperti kain, brokat baik yang tekstil
pabrik maupun yang kain tenun. Saat ini fashionista di Yogyakarta lagi gandrung
dengan busana etnik dengan bahan kain tenun.
Post a Comment for "JOGJA, KOTA MODE ETNIK"