Bissu Bugis Berkati Bumi Mataram, Yogyakarta
Hening, sunyi, sepi, senyap, tak satupun berani berbisik apalagi bicara seolah semua menjadi bisu ketika suasana ruang pertunjukan gedung Arena di Kampus Institut Seni Yogyakarta menanti pagelaran sendratari Sumage’na Bissudimulai (Ahad, 8 Juli 2012).
Penerangan yang sengaja dimatikan makin membawa penonton dalam suasana yang sakral, tak selentingan pun suara yang terdengar, hingga sesemburat cahaya lampu sorot menerangi sisi utara panggung menyeruak seakan menyapu gelap. Cahayanya menyorot seorang passureq yang membacakan sureq galigo ikhwal hadirnya para Bissu dalam masyarakat Bugis. Bissu adalah sosok yang dianggap sebagai manusia setengah dewa dalam khasanah budaya Bugis pra Islam, perantara dunia manusia dan dunia para dewa. Kisah kehadirannya dikisahkan dalam bait-bait lontaraq, sebuah manuskrip sastra kuno Bugis yang untuk membacakannya dibutuhkan jasa seorang passureq. Prosesi membaca sureq ini sendiri disebut Massureq, sebelum massureq dimulai, kitab kuno tersebut juga hanya boleh dibuka setelah melewati prosesi pemberkatan oleh sang Bissu.
Adegan selanjutnya menampakkan seorang Bissu Lolo (Bissu Muda) yang menuju altar pemujaan setelah sebelumnya melakukan ritual tarian sakral. Kehadirannya diawali dengan kebulan asap ke seantero area panggung berikut dengan musik lirih nan sakral diiringi gemuruh lengking yang mendirikan bulu roma, perpaduan alat musik khas Bugis seperti puik-puik, soling, kacaping, anak becing, parappasa, genrang dan lainnnya memadukan harmoni ritual. Mengenakan baju Adat khas Bissu berwarna hitam, sang bissu lolo nampak begitu berwibawa. Tatapannya tegas menatap setiap sudut, sungging bibirnya datar, tak senyum ataupun gurat marah, tiap gerakannya tertata penuh ritme, ia serius dengan lakonnya.
BISSU MODERN
Suasana sakral dan hikmad itu akhirnya dibuyarkan (*dikacaukan) dengan kehadiran empat orang penari dengan tarian yang penuh irama, dinamis meliuk tanpa pakem, kadang erotis lengkap dengan iringan musik dan lagu dandut koplo semisal lagu Iwak Peyek.
Dengan tarian modernnya, empat penari ini sukses menggambarkan kondisi kekinian para Bissu di tanah Bugis. Dahulu Bissu adalah sosok yang sarat dengan kemampuan bearoma religi dan mistik, menjadi penghubung antara manusia dan para dewa, menjadi sosok yang nubuwat dan petuahnya senantiasa dinanti dan dipatuhi para raja dan rakyatnya. Bissu yang dulu hidupnya serba bersahaja. Diluar perannya sebagai Bissu, mereka adalah manusia biasa yang juga punya hasrat hidup, mereka bertani, berladang dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.
Kini, karena tuntutan zaman, terpaan nilai hodenis dan materialism, serta perlakuan masyarakat terhadap eksistensi para Bissu, sukses memaksa mereka –kadang juga mereka sendiri yang mau- berkoloni dan membuat kelompok eksklusif dengan para waria. Para Bissu menganggap diri mereka adalah waria, tidak lagi sebagai sosok yang dititisi kelebihan untuk menjadi Bissu. Wajar jika masyarakat beranggapan bahwa Bissu sama dengan waria, ironis! Dalam koloni para waria, mereka menganggap diri mereka adalah Bissu modern, Bissu dengan tampilan yang modis, dengan profesi harian sebagai desainer, hair stylish, make stylish, koki, chief hingga seorang wedding organistor. Dalam melakukan ritual Bissu, mereka tak ingin lagi menggunakan pakem gerak dan tari yang sarat makna, estetika dan filosofi. Bagi Bissu modern, gerakan itu telah kuno, ketinggalan zaman dan menjemukan. Tak pelak, mereka hadirkan koreo dan tata gerak tari baru yang lebih energik, dinamis bahkan terkesan erotis.
Pagelaran ini merupakan kritik sosial yang ingin ditunjukkan Ariyanti Sultan dalam karya tarinya bertajuk “Sumangeqna Bissu”. Ibu satu anak ini seolah marah pada dinamika para Bissu yang kian rusak di tengah masyarakat Bugis. Amarahnya, sempurna ditunjukkan lewat berbagai simbol dan gerak-gerik panggung tanpa dialog dalam pertunjukan berdurasi 65 menit tersebut.
Dalam salah satu adegan, Rhara panggilan akrab perempuan asal Pare pare, Sulawesi Selatan ini juga menujukkan betapa jabatan atau sematan sebagai seorang Bissu saat ini telah menjadi rebutan berbagai pihak. Hal ini digambarkan pada adegan dimana empat Bissu modern memperebutkan sebuah lawasoji, ajang rebut merebut berlansung begitu sengitnya, hingga lawasoji tersebut menjadi rusak tanpa bentuk. Lawasoji dalam ritual Bissu adalah ruang khusus yang terbuat untaian bambu dan kain putih, tempat para calon Bissu melewati proses Irebba sebelum sang calon dilantik menjadi Bissu.
Layaknya sebuah peran, seorang plakon antagonis pasti akan melawati masa kulminasi, masa yang membuat mereka tersadar akan kekeliuran mereka. Meski kadang kesadaran itu terlambat, setelah semua rusak dan tak bisa diperbaiki lagi. Pun dengan keempat Bissu modern tadi, saat mereka tersadar dengan ulah mereka, lawasoji telah rusak sempurna, tak bisa lagi diperbaiki.
Kesadaran mereka makin menjadi, penyesalan mereka makin membuncah kala seorang Matoa Bissu (sesepuh Bissu) memasuki arena. Hadir dengan pakaian kebesaran dan berpayungkan payung kehormatan yang ditadah oleh Bissu Lolo, sang Matoa Bissu menjadi pusat perhatian kala ia melakukan proses maggiriq, menusuk dirinya dengan Tappi-nya (sejenis keris) pada beberapa bagian tubuhnya seperti telapak tangan, perut, mata hingga lidah. Iringan musik sakral terus mengiringi ritual maggiriq tersebut, konon irama musik harus senada dengan ritme maggiriq itu sendiri, resonansi musik itulah yang menggiring suksesnya ritual maggiriq. Salah alunan, fatal akibatnya.
Sebelum prosesi maggiriq dimulai, sang Matoa Bissu melakukan gerakan unik, sepenggal tarian yang lembut dan berirama dengan ritme pelan nan syahdu. Tak lupa ia melakukan penghormatan dengan sedikit menjurakan anggukan kepala ke arah empat sudut panggung, upaya meminta ijin untuk melakukan ritual Bissu di kota Budaya, Yogyakarta. Rupanya sang Bissu paham dan masih mengejawantahkan pesan leluhurnya, kegasi sanre lopie kositu to taro sengereng, dimana perahu kita berlabuh, disanalah kita menanam budi. Pasca meminta ijin, tak lupa sang Matoa merapalkan pula larik-larik doa mendoakan semua yang hadir di ruang pertunjukan tersebut agar tak tertimpa aral apapun minimal selama ritual berlansung. Sang Matoa sadar jika apa yang dilakukannya beberapa saat lagi memiliki resiko kepada siapapun, termasuk bagi penonton. Maka ia melakukan pemberkatan kepada siapapun yang hadir diruang tersebut, juga memberkati bumi Mataram – Yogyakarta.
Tahukah Anda, siapa yang memerankan sosok Matoa Bissu tersebut?
Ia adalah Matoa Bissu Pung Ufe sendiri, Matoa Bissu dari tanah Sigeri Kab. Barru Sulawesi Selatan ini didatangkan lansung oleh sang Koreografer, Rhara.
Penerangan yang sengaja dimatikan makin membawa penonton dalam suasana yang sakral, tak selentingan pun suara yang terdengar, hingga sesemburat cahaya lampu sorot menerangi sisi utara panggung menyeruak seakan menyapu gelap. Cahayanya menyorot seorang passureq yang membacakan sureq galigo ikhwal hadirnya para Bissu dalam masyarakat Bugis. Bissu adalah sosok yang dianggap sebagai manusia setengah dewa dalam khasanah budaya Bugis pra Islam, perantara dunia manusia dan dunia para dewa. Kisah kehadirannya dikisahkan dalam bait-bait lontaraq, sebuah manuskrip sastra kuno Bugis yang untuk membacakannya dibutuhkan jasa seorang passureq. Prosesi membaca sureq ini sendiri disebut Massureq, sebelum massureq dimulai, kitab kuno tersebut juga hanya boleh dibuka setelah melewati prosesi pemberkatan oleh sang Bissu.
Adegan selanjutnya menampakkan seorang Bissu Lolo (Bissu Muda) yang menuju altar pemujaan setelah sebelumnya melakukan ritual tarian sakral. Kehadirannya diawali dengan kebulan asap ke seantero area panggung berikut dengan musik lirih nan sakral diiringi gemuruh lengking yang mendirikan bulu roma, perpaduan alat musik khas Bugis seperti puik-puik, soling, kacaping, anak becing, parappasa, genrang dan lainnnya memadukan harmoni ritual. Mengenakan baju Adat khas Bissu berwarna hitam, sang bissu lolo nampak begitu berwibawa. Tatapannya tegas menatap setiap sudut, sungging bibirnya datar, tak senyum ataupun gurat marah, tiap gerakannya tertata penuh ritme, ia serius dengan lakonnya.
BISSU MODERN
Suasana sakral dan hikmad itu akhirnya dibuyarkan (*dikacaukan) dengan kehadiran empat orang penari dengan tarian yang penuh irama, dinamis meliuk tanpa pakem, kadang erotis lengkap dengan iringan musik dan lagu dandut koplo semisal lagu Iwak Peyek.
Dengan tarian modernnya, empat penari ini sukses menggambarkan kondisi kekinian para Bissu di tanah Bugis. Dahulu Bissu adalah sosok yang sarat dengan kemampuan bearoma religi dan mistik, menjadi penghubung antara manusia dan para dewa, menjadi sosok yang nubuwat dan petuahnya senantiasa dinanti dan dipatuhi para raja dan rakyatnya. Bissu yang dulu hidupnya serba bersahaja. Diluar perannya sebagai Bissu, mereka adalah manusia biasa yang juga punya hasrat hidup, mereka bertani, berladang dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.
Kini, karena tuntutan zaman, terpaan nilai hodenis dan materialism, serta perlakuan masyarakat terhadap eksistensi para Bissu, sukses memaksa mereka –kadang juga mereka sendiri yang mau- berkoloni dan membuat kelompok eksklusif dengan para waria. Para Bissu menganggap diri mereka adalah waria, tidak lagi sebagai sosok yang dititisi kelebihan untuk menjadi Bissu. Wajar jika masyarakat beranggapan bahwa Bissu sama dengan waria, ironis! Dalam koloni para waria, mereka menganggap diri mereka adalah Bissu modern, Bissu dengan tampilan yang modis, dengan profesi harian sebagai desainer, hair stylish, make stylish, koki, chief hingga seorang wedding organistor. Dalam melakukan ritual Bissu, mereka tak ingin lagi menggunakan pakem gerak dan tari yang sarat makna, estetika dan filosofi. Bagi Bissu modern, gerakan itu telah kuno, ketinggalan zaman dan menjemukan. Tak pelak, mereka hadirkan koreo dan tata gerak tari baru yang lebih energik, dinamis bahkan terkesan erotis.
Pagelaran ini merupakan kritik sosial yang ingin ditunjukkan Ariyanti Sultan dalam karya tarinya bertajuk “Sumangeqna Bissu”. Ibu satu anak ini seolah marah pada dinamika para Bissu yang kian rusak di tengah masyarakat Bugis. Amarahnya, sempurna ditunjukkan lewat berbagai simbol dan gerak-gerik panggung tanpa dialog dalam pertunjukan berdurasi 65 menit tersebut.
Dalam salah satu adegan, Rhara panggilan akrab perempuan asal Pare pare, Sulawesi Selatan ini juga menujukkan betapa jabatan atau sematan sebagai seorang Bissu saat ini telah menjadi rebutan berbagai pihak. Hal ini digambarkan pada adegan dimana empat Bissu modern memperebutkan sebuah lawasoji, ajang rebut merebut berlansung begitu sengitnya, hingga lawasoji tersebut menjadi rusak tanpa bentuk. Lawasoji dalam ritual Bissu adalah ruang khusus yang terbuat untaian bambu dan kain putih, tempat para calon Bissu melewati proses Irebba sebelum sang calon dilantik menjadi Bissu.
Layaknya sebuah peran, seorang plakon antagonis pasti akan melawati masa kulminasi, masa yang membuat mereka tersadar akan kekeliuran mereka. Meski kadang kesadaran itu terlambat, setelah semua rusak dan tak bisa diperbaiki lagi. Pun dengan keempat Bissu modern tadi, saat mereka tersadar dengan ulah mereka, lawasoji telah rusak sempurna, tak bisa lagi diperbaiki.
Kesadaran mereka makin menjadi, penyesalan mereka makin membuncah kala seorang Matoa Bissu (sesepuh Bissu) memasuki arena. Hadir dengan pakaian kebesaran dan berpayungkan payung kehormatan yang ditadah oleh Bissu Lolo, sang Matoa Bissu menjadi pusat perhatian kala ia melakukan proses maggiriq, menusuk dirinya dengan Tappi-nya (sejenis keris) pada beberapa bagian tubuhnya seperti telapak tangan, perut, mata hingga lidah. Iringan musik sakral terus mengiringi ritual maggiriq tersebut, konon irama musik harus senada dengan ritme maggiriq itu sendiri, resonansi musik itulah yang menggiring suksesnya ritual maggiriq. Salah alunan, fatal akibatnya.
Sebelum prosesi maggiriq dimulai, sang Matoa Bissu melakukan gerakan unik, sepenggal tarian yang lembut dan berirama dengan ritme pelan nan syahdu. Tak lupa ia melakukan penghormatan dengan sedikit menjurakan anggukan kepala ke arah empat sudut panggung, upaya meminta ijin untuk melakukan ritual Bissu di kota Budaya, Yogyakarta. Rupanya sang Bissu paham dan masih mengejawantahkan pesan leluhurnya, kegasi sanre lopie kositu to taro sengereng, dimana perahu kita berlabuh, disanalah kita menanam budi. Pasca meminta ijin, tak lupa sang Matoa merapalkan pula larik-larik doa mendoakan semua yang hadir di ruang pertunjukan tersebut agar tak tertimpa aral apapun minimal selama ritual berlansung. Sang Matoa sadar jika apa yang dilakukannya beberapa saat lagi memiliki resiko kepada siapapun, termasuk bagi penonton. Maka ia melakukan pemberkatan kepada siapapun yang hadir diruang tersebut, juga memberkati bumi Mataram – Yogyakarta.
Tahukah Anda, siapa yang memerankan sosok Matoa Bissu tersebut?
Ia adalah Matoa Bissu Pung Ufe sendiri, Matoa Bissu dari tanah Sigeri Kab. Barru Sulawesi Selatan ini didatangkan lansung oleh sang Koreografer, Rhara.
( Suryadin Laodang – Yogyakarta)
TULISAN INI TELAH TAYANG DI WWW.KABARKAMI.COM, 9 JULI 2012
Sangat bermanfaat...thanks
ReplyDeletemaaf sigeri itu masuk wilayah kab. Pangkep
ReplyDeletemaaf sigeri atau segeri itu masuk wilayah kab. Pangkep .....
ReplyDelete