DIPAN DI RUANG TAMU; CARA ORANG BUGIS “MEMBATASI” TAMU
Jangan berlaku sembarang jika bertamu di rumah orang Bugis! Salah-salah, tuan rumah jadi salah kaprah dan tersinggung. Itu jika Anda tidak memahami tata krama bertamu dalam masyarakat Bugis.
Sebelum era Millenium, masih banyak rumah Bugis yang menempatkan tempat tidur (Ranjang, Dipan, Rosbang) berdampingan dengan ruang tamu mereka. Jika kursi tamu terletak di sebelah kiri ambang pintu masuk, maka tempat tidur berada di sebelah kanan. Kadang pula ditempatkan satu baris disebelah kiri semua atau sebelah kanan semua. Jika rumahnya cukup besar, maka ruang tamu biasanya berbentuk huruf “L” dimana tempat tidur akan ditempatkan pada posisi “anak huruf L” tadi. Tempat tidur ini diletakkan begitu saja tanpa penutup, pembatas atau dinding kamar. Tamu yang bertandang akan dapat melihat tempat tidur tersebut.
Terkesan aneh memang jika dibandingkan dengan kondisi sekarang ini. Terlebih setelah diperkenalkan program Millennium Development Goal’s (MDGs) oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Salah satu target program ini adalah, tercipta rumah sehat disemua lapisan masyarakat termasuk di masyarakat Bugis. Indikatornya ruang tidur harus terletak diruang khusus yang tertutup dengan sedikit ventilasi udara, harus menjamin terjaganya privasi siapapun yang tidur didalamnya. Sejak itu, tempat tidur di ruang tamu hilang, kalaupun tak dipindahkan, ia segera diberi pembatas, setidaknya menjadi kamar.
Rumah masyarakat Bugis dibagi menjadi empat bagian yakni, bagian teras (lego-lego) bagian depan (olo bola), bagian tengah (lontang ri tengnga/possi bola), bagian belakang (dapureng). Bagian depan terdiri dari teras (lego-lego), ruang tamu (baritu toana), dan tempat tidur tamu (baritu massao). Bagian tengah terdiri dari dari ruang tidur (teppang boco), ruang keluarga (assaongeng). Bagian belakang terdiri dari ruang makan (assilewong), dapur kering/ruang masak (dapureng), dapur basah (appica-picakeng).
Antara ruang tengah dan belakang biasanya tidak ada pembatas, keduanya menyatu kecuali bagian dapur kering dan dapur basah yang lazimnya ditempatkan di tapping bola, ruas tambahan rumah pada posisi samping kiri belakang berdasarkan arah hadapan rumah. Ruas ini biasanya dilengkapi dengan tangga sebagai jalur keluar masuk pemilik rumah melalui pintu belakang. Sementara tangga depan untuk tamu.
Sementara ruang tamu dan ruang tengah biasanya memiliki pembatas, entah itu berupa kain tirai atau pembatas berbahan bambu atau kayu papan (kini banyak berganti triplek, hardboard, tembok). Pembatas ini disebut pallawa tengnga, selain sebagai pemisah antar ruang, juga berfungsi sebagai pembatas/penutup pandangan terhadap segala bentuk akitifitas dan isi bagian tengah rumah. Budayawan Bugis Andi Oddang (2012) mengatakan “secara hakiki menurut sifatnya pallawa tengnga dapat juga dianggap sebagai jajareng berupa batas imaginer terhadap nilai keburukan/aib tuan rumah yang harus dijaga dan tak diketahui orang lain. Jajareng berasal dari kata “jaa” yang berarti buruk”.
Bagi masyarakat Bugis apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka simpan dibalik pallawa tengga itu adalah harga diri, tabu untuk dilihat orang lain. Aib jika menjadi tontonan orang lain. Terlebih jika di dalam rumah tersebut terdapat seorang perempuan, apa lagi jika itu adalah seorang gadis. Seorang gadis adalah mutiara kehormatan dan harga diri bagi orang Bugis, harus dijaga dengan takaran darah dan nyawa.
Seorang tamu tidak diperkenankan melewati pallawa tengga tersebut. Berani melanggar batas tersebut, maka darah dan nyawa sang tamu jadi halal bagi tuan rumah. Inilah salah satu bentuk penegakan siriq bagi orang Bugis, dalam hukum adat Bugis tidak akan ada tuntutan bagi mereka yang membunuh untuk menegakkan siriq-nya. Tapi itu dulu, sebelum kerajaan-kerajaan Bugis memilih untuk bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lalu bagaimana jika sang tamu harus menginap di rumah tersebut? Bagaimana pula jika mereka hendak buang air?
Inilah jawaban kenapa harus ada dipan di ruang tamu orang Bugis. Sang tamu akan mendapatkan jatah tidur di dipan tersebut. Sementara jika ingin buang air, ia harus ke sumur, sungai atau kamar mandi yang biasanya dimiliki rumah Bugis yang terletak di samping rumah, terpisah dengan rumah utama. Mereka turun dengan melewati pintu depan, tidak lewat pintu belakang.
Jika tiba saat jamuan makan, maka oleh tuan rumah sajian akan dihidangkan dalam baki besar di ruang tamu. Disajikan secara suasana lesehan, dimana tuan rumah (utamanya kaum pria) akan ikut makan bersama mereka. Dalam kaitannnya dengan jamuan makan ini juga terdapat kaidah lagi bagi sang tamu maupun bagi tuan rumah (akan dibahas pada artikel-artikel berikutnya)
Kembali ke ikhwal dipan di ruang tamu tadi, biasanya di dipan ini telah tersedia bantal, kelambu serta sarung untuk tidur, sarung untuk mandi, sarung untuk shalat (untuk kaum Muslim), tapi tidak akan ada sarung senggama. Lalu, bagaimana jika sang tamu adalah suami istri dan berhasrat melabuhkan hasrat cinta mereka?
Hemm, bagaimana yah? Gak usah dibahas dulu yah, lagi puasa soalnya.
Sumber Foto :
Foto 1 : http://udbahagia.blogspot.com/
Foto 2 : http://bugiskha.wordpress.com
tapi bagaimana kalau yang bertamu itu, masih merupakan kerabat dekat? apa pelayanan tetap sama ato tidak? dan bagaimana kalau rumah (tuan rumah) tidak memiliki sumur, dan jauh dari sumber air, sedangkan kamar kecil berada didekat "dapureng" dan harus melewati "jajareng".....
ReplyDeletekerabat dekat boleh saja dikecualikan jika ia masih muhrim dari anak gadis tuan rumah.
ReplyDeleteJika tidak ada sumur atau sumber air jauh. biasanya tuan rumah menyiapkan tempat khusus di kolong rumah atau disamping rumah dekat tangga dalam/belakang
Desain Rumah saya bangeet tuuh... ^_^
ReplyDeleteRumah adat yang sangat indah..
ReplyDelete