JALAN BADIK DAN MAKASSAR YANG KIAN KASAR
“ ... siri’ patuoki rilino, mate siri’ mate watakkale
Siri’ku rikeccaki, cappa kawali mabbicara.”
Lewat Ninjanya, Jepang memperkenalkan budaya “Jalan Pedang”. 'Jalan Pedang' adalah sebuah filsafat hidup yang ditemukan oleh Miyamoto Musashi, pendekar pedang legendaris Jepang. Dalam buku Musashi karya fiksi Eiji Yoshikawa, adalah Musashi (Miyamoto Musashi) seorang mantan berandalan yang menjelma menjadi seorang pendekar tanpa tanding setelah mendapatkan Wejangan “seorang pendekar haruslah memiliki pikiran yang tak pernah berhenti, memiliki pikiran komprehensif yang bercakrawala luas dan berwawasan ke depan”. Pesan moral ini kemudian berkembang dan menjadi spirit bangsa Jepang dalam menghadapi banyak bencana dan keterpurukan. Tak hanya mengenalkan nilai-nilai semangat hidup, lewan “jalan pedang”nya, Jepang sukses melegitimasi benda berupa pedang sebagai identitas Jepang itu sendiri.
Di Indonesia, puluhan etnis dan suku Nusantara juga memiliki senjata tajam dan menjadikannya sebagai identitas mereka. Jawa dengan Keris, Sunda dengan Kujang, Aceh dengan Rencong, Dayak dengan Mandau, Bugis dengan Kawali (Badik). Berbeda dengan Jepang, di Indonesia senjata itu lebih lekat nilai fatalisnya dibanding nilai budayanya. Di Sulawesi Selatan misalnya, badik telah menjadi alat pembunuh. Setiap terjadi keributan (termasuk didalamnya tawuran Mahasiswa) badik selalu ambil bagian, meski ujung-ujungnya ia disita petugas. Memang seperti itukah “roh” kawali itu?, dan betulkan Makassar itu adalah kependekan dari frase “Manusia Kasar”.
Kawali sesungguhnya bukanlah senjata sembarangan, tidak semua orang dapat memilikinya. Untuk memilikinya, seseorang harus melalui tahapan penyatuan jiwa (soulmate) dengan kawalinya. Karena kawali akan mempengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya. Ada kawali yang dijadikan penjaga rumah, ladang, empang, dijadikan teman mengembara, dijadikan teman dalam berniaga. Bahkan ada pula yang dijadikan “pagar” bagi pasangan suami istri agar tidak digoda orang lain. Sementara kawali untuk “berkelahi” juga ada, di masyarakat Sul-Sel dikenal model perkelahian Assitobo Lipa, dimana dua lelaki akan saling bersumpah untuk menyelesaikan “urusan” mereka dengan saling tikam didalam lingkupan selembar sarung. Ritual ini adalah langkah terakhir yang dilakukan seorang pria, ketika harga diri dan kehormatan mereka telah diabaiakan oleh musuhnya, ketika solusi lain mengalami jalan buntu. Ritual ini dianggap sebagai jalan untuk menegakkan kembali harga diri dan kehormatannya (patettong siri’).
Sayang, siri’ itu kini telah mengalami pergeseran makna. Siri selalu identik dengan pertumpahan darah lewat sebilah badik. Bahkan kawula muda Sul-Sel punya falsafah “siri’ patuoki rilino, mate siri’ mate watakkale. Siri’ku rikeccaki, cappa kawali mabbicara.” Kalimat kedua dalam falsafah ini adalah rekaan mereka sendiri (penganut jalan kekerasan), sementara kalimat pertama adalah falsafah hidup yang ditanamkan dari generasi ke generasi. Penyelesaian dengan ujung badik ini akhirnya menjadi identik dengan karakter orang Sul-Sel. Maka tak heran orang Makassar dikenal brutal, anarkis, fatalis, mau mati untuk sesuatu perkara sepele saja. Anggapan negatif yang melekat pada diri dan disematkan sebagai karakter orang Makassar. Cap ini kian rekat seiring marakanya pemberitaan media perihal kurusuhan, aksi kriminal dan tawuran mahasiswa di Makassar pada khususnya dan Sulawesi Selatan pada umumnya.
Don’t judge the book from the cover, menilai Makassar dari tampilan luar yang disuguhkan media tentulah tidak bijak. Untuk mengenal seperti apa orang Makassar, kita dituntut memahami budaya Makassar lewat karya sastra, adat istiadat dan sejarah Makassar. Dalam peristiwan Silariang (kawin lari), merasa harga diri terinjak-injak seorang pemuda melakukan segala upaya agar sang pujaan hati mau Erangkale (datang membawa dirinya kepada pemuda). Jika tidak mampu, maka mereka kawin lari. Bagi pihak orang tua (keluarga) gadis, ini adalah “Aib Besar” (Mate Siri’). Maka pencarian dan pengejaran segera dilakukan dengan tujuan, membunuh pasangan kawin lari tersebut. Ini adalah bentuk pembunuhan terhormat sebagai bentuk penegakan harga diri (Patettong Siri’). Inilah hukum adat Makassar, yang bertolak belakang dengan hukum konvensional. Hukum adat yang berlandas pada Galigo, pepatah sastra lisan Bugis Makassar yang berbunyi
Paentengi siri’ ri Tallasanu’ [2]
Inka punna battumi kamateanga
Allei Matea ni Santangngi’
Inka punna battumi kamateanga
Allei Matea ni Santangngi’
Artinya :
Tegakkan Harga Diri dalam Hidupmu
Tapi jika ajal sudah datang
Matilah secara terhormat
Karakter keras dan berani orang Makassar tidak lepas dari tradisi maritim mereka sebagai pelaut (Mattulada, 1995)[3]. Terjangan ombak membentuk karakter mereka menjadi tidak mengenal kompromi. Karakter keras itu tertuang dalam kata rewako yang artinya “lawanlah”.
Lalu, hanya itukah karakter orang Makassar?, jawabnya tentu tidak.
Sebagai inti dan kepribadian, selain Siri’ orang Bugis-Makassar juga mengenal pacce. Kata siri’ sesungguhnya tidak boleh dipisahkan dengan kata pacce. Jika dipisahkan, secara personal masyarakat akan mengalami Ambivalen personality. Siri dan Pacce memiliki hubungan sebab dan akibat. “Siri’ na pacce” tidak memiliki padanan dalam kosa kata bahasa Indonesia. Pacce, secara bahasa adalah perasaan sedih mendalam karena sakit, menderita, atau kecewa. Dari pacce inilah muncul rasa simpati, empati, persatuan, dan kebersamaan. Pesse (Bugis) dan pacce (Makassar) secara gamblang diuraikan oleh Prof. Aminuddin Salle[4]
Agak susah untuk mendapatkan padanan kata dari Bahasa Indonesia. Akan tetapi dapat dijelaskan sebagai berikut: Hampir pernah terjadi bagi kita semua, kulit kita teriris oleh pisau, sembilu atau benda tajam apapun juga. Kalau irisan kulit itu diberi yodium maka terasa “pedis”. Mendekati padanan “pedis” itulah yang disebut dengan passe(Bugis) dan pacce (Makassar. Akan tetapi, passe (Bugis) dan pacce (Makassar) itu terasa bukan pada kulit tetapi terasa dalam hati seseorang. Jadi perasaan “pedis” di hati tatkala ada seseorang di lingkungan kita yang mengalami masalah, sehingga tergerak hati kita untuk membantunya.
Pacce inilah yang menampilkan sisi humanis orang Makassar. Mengedepankan nilai-nilai solidaritas bagi orang Makassar. Inilah bukti bahwa mereka adalah suku bangsa yang peramah, sopan, santun dan perasa. Dahulu, kepekaan rasa “pacce” itu sangat dalam, sehingga seseorang yang mengalaminya kadang bertindak irrasional. Tak jarang, orang Makassar rela bela pati, mengeluarkan segala isi hati, harta benda bahkan korban nyawa demi orang lain.
Sebagai contoh, di masyarakat Makassar sering ditemui ungkapan “Baji’na Tau” atau “Baji’ tojengi’ La Baco” (alangkah baik orang itu atau alangkah baiknya si Baco), sebuah ungkapan yang bermakna empati. Kelak jika si Baco ditimpa kesukaran, kemalangan bahkan jika ada yang berniat mencelakai, mempermalukan menginjak harga diri si Baco. Maka orang yang mengungkapkan ungkapan diatas tadi akan rela berkorban untuk si Baco. Maju lebih awal menumpahkan darah melindungi si Baco, meski tidak dimintai. Bela pati ini ada karena si Baco dipandang sebagai Bulaeng Tau (orang baik). Pelaku rela Mate ni Santangngi (mata secara terhormat), mati karena menegakkan harga diri.
Pepatah Makassar mengajarkan, “Ikambe Mangkasaraka, punna tena siriknu, pacce nu seng nu pa’ bulu sibatangngang (Bagi kita orang Makassar, kalau bukan sirik maka pacce-lah yang membuat kita bersatu).” Maka orang Bugis Makassar dikenal sebagai orang yang berani, setia, bertanggung jawab, solider dan kuat pendirian. Ada juga yang memplesetkan kata Makassar sebagai “Manusia Kasar” yang pada kenyataannya persepsi itu salah besar. Jusuf Kalla dengan tegas mengatakan, Makassar itu “S”nya ada dua, bukan satu, jadi Makassar bukan Manusia Kasar”. Terhadap marakanya tawuran Mahasiswa di Makassar, Jusuf Kalla berkomentar “bukan karakter keras orang Sulsel yang salah. Bukan pula aksi demontrasi mahasiswa itu yang dikeluhkan. Malah, keberanian mahasiswa Makassar dalam mengawal kebijakan pemerintah mendapat acungan jempol”.[5] Kota Makassar hanyalah "korban", pelaku tindakan anarkis nan fatalis itu kebanyakan justru pendatang di Kota Makassar.
Duh Makassarku...
-
[1] Disampaikan dalam SEMINAR KEBUDAYAAN DAERAH IKPMD se-INDONESIA, Hotel Matahari Yogyakarta. Rabu, 12 Oktober 2011.
[2] Hakim, Zainuddin., 1992, Pasang dan Paruntuk Kana dalam Sastra Klasik Makassar, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
[3] Latoa; Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Hasanuddin Unversity Press, Ujung Pandang, 1995
[4] Salle, Aminduddin., Prof., Memaknai kehidupan dan kearifan lokal, AS Publishing, Makassar, 2011
[5] Fajar 11 Juli 2010
JANGAN LUPA BERKUNJUN KE
Tidak mengertika bahasanya brow...
ReplyDeletebisa Tidak Di terjemahkan ke dalam bahasa indonesia...
menarik :)
ReplyDelete@Mulki Muluc : Silahkan baca lengkap artikel ini
ReplyDeleteSebenarnya orang makassar tidak kasar kecuali dia dikasari dan ada 1 lg prinsip yang lebih keras dari siri napacce yaitu manna larija tenaja kugappai kampongku artinya biar lari dia jg tidak dapat kampungnya,makanya muncullah istilah REWAKO yang artinya lawanlah....
ReplyDeleteSebenarnya orang makassar tidak kasar kecuali dia dikasari dan ada lagi istilah yang lebih keras dari siri napacce yaitu manna larija tenaja kugappai kanpongku artinya biar lari diajuga tidak sampai di kampungnya makanya muncullah istilah rewako yang artinya lawanlah dan sebenarnya orang makassar itu baik2 dibandingkan org ibukota buktinya ada ngak dikota daeng orang tidur dibawah jembatan atau di emperan2 toko mungkn ada tp org gila, sebaliknya di ibukota kita sering lihat baik secara lgsg maupun melalui media dan sebenarnya kota daeng dan ibukota tdk jauh beda mereka sama2 kota yg sering didatangi para pendatang tiap tahun...jd betul kata pak YUSUF KALLA rata2 yg bikin banyak onar itu para pendatang sama jg sebaliknya dengan ibukota rata2 yg banyak bikin onar adalah pendatang,
ReplyDeletecocoki anjo sari bateta akkana
ReplyDelete