Sastra Bugis : Galigo Hari Ini ( Seri 105), Edisi Selingan dari Serial Lamar-melamar
Tappa Curu Na Mamelleng (8)
Aduu Parewa Jabba (7)
Tebbu Tonrong Salo (6)
Arti Bugis Umum
Aganatu angkeqmu iko, mattappa tomalasatono, masumpu nyawa tono, dettona gaga rettemu
Arti Indonesia
Apa yang dapat kami andalkan pada dirimu, sudah berwajah tanpa harapan, kamu juga tidak memiliki kelebihan apapun dan juga tidak memiliki pengaruh apapun.
Penjelasan
Secara umum galigo termasuk kategori sulit, masing-masing baris memiliki kata kunci untuk menjelaskan makna masing-masing baris untuk mencapai makna utuh dari galigo ini. Pada baris pertama kata kuncinya terletak pada kata “curu na mamelleng”, sementara rangkaian kata pada baris kedua dan ketiga semuanya menjadi kata kunci yang terikat dan dalam sebuah kesatuan makna.
Kata curu memiliki makna “sesuatu yang sengaja (memilih) tenggelam” untuk bersembunyi agar tidak terlihat dipermukaan atau tidak tampak oleh orang lain. Tempat bersembunyi ini biasanya dilakukan di air dalam atau dibalik semak-semak, onggokan batu, kayu dan benda lainnya. Kata Mamelleng memiliki makna “wajah yang tatapan kosong”, kata ini mungkin sudah jarang ditemui dalam bahasa pergaulan akhir-akhir ini. Di sebelah timur kota Sengkang (Ibukota Kabupaten Wajo Sul-Sel) atau tepatnya di sebelah utara Kota Tosora (Bekas Ibukota Kerajaan Wajo sebelum pindah ke Sengkang) terdapat sebuah kampung yang bernama Mellengnge. Konon, kampung yang kini terletak di desa Cinnongtabi ini pada masa Musuq Sellengnge (1669) dihuni oleh-oleh penduduk yang memiliki wajah tanpa gairah hidup. Disebabkan oleh rasa sedih mereka melihat hancurnya istana Tosora karena dibombardir oleh meriam-meriam Belanda yang waktu itu bersekutu dengan Kerajaan Bone.
Pada baris kedua ditemui rangkaian kata “Aduu Parewa Jabba” yang secara bebas dapat diterjemahkan menjadi “rumput yang menjadi bahan utama membuat sangkar burung”. Sangkar burung yang dalam bahasa Bugis disebut “Jabba”. Jabba biasanya dibuat dari bahan baku berupa tanaman dari kelompok tebu-tebuan yang lebih mirip rumput. Bentuk dan warnanya mirip bambu kuning/gading. Telle jika ditulis dalam bahasa Bugis, bisa dibaca menjadi Telleng (tenggelam), analogi telleng inilah yang diterjemahan menjadi tenggelam yang memiliki makna seseorang yang tidak menonjol ditengah orang kebayakan. Ibarat seseorang yang tidak memiliki pengaruh apapun. Adanya tidak menambahi, tidak adanya tidak mengurangi.
Pada baris ketiga, kata “Tebbu Tonrong Salo” secara bebas dapat diterjemahkan menjadi tanaman tebu yang tumbuh di hilir sungai. Tebu semacam ini pasti rasanya hambar, tidak manis seperti tebu pada umumnya. Ungkapan ini umumnya dialamatkan pada orang yang tidak memiliki kelebihan atau keunggulan apapun yang dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan lingkungannya. Secara utuh, , galigo ini ingin mengikhtibarkan agar setiap manusia dalam menghadapi hidup harus optimis, harus memiliki kelebihan dan dapat diterima ditengah masyarakat. Semoga kita termasuk didalamnya.
Galigo edisi berikutnya kembali akan membahas tentang galigo-galigo yang dipakai saat melamar. Pantengin terus yah!
Post a Comment for "Sastra Bugis : Galigo Hari Ini ( Seri 105), Edisi Selingan dari Serial Lamar-melamar"