Demokrasi Di Bumi Bangsawan
DEMOKRASI DI BUMI BANGSAWAN; Studi Kasus di Kabupaten Bone
Oleh : Dr. Suriadi Mappangara, M.Hum.[1]
( Dipaparkan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 )
Di era demokrasi ini, tidak ada larangan seorangpun untuk ikut dalam pemilihan kepala daerah, termasuk kalangan bangsawan. Akan tetapi, mengapa partai-partai politik yang demikian banyak di Bone, tidak mengusung figur yang bukan dari kalangan bangsawan? Di mana letak peran partai dalam proses pendidikan politik dalam rangka melakukan pengkaderan ke depan. Tampak bahwa partai politik tidak memiliki pilihan lain kecuali ikut-ikutan mengusung calon dari kalangan bangsawan.
Pertanyaan selanjutnya adalah ada apa dengan bangsawan ini. Mengapa mereka sangat dominan dan masih dikehendaki oleh masyarakat untuk tetap memegang kekuasaan. Tidakkah dikhawatirkan bahwa kehadiran mereka akan menodai jalannya demokrasi? Apakah keunggulan yang dimiliki oleh bangsawan sehingga mereka tetap dapat bertahan dan masih berpengaruh besar dalam hidup dan kehidupan masyarakat Bone sampai sekarang ini? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang coba dibicarakan dalam makalah yang berjudul Demokrasi di Tanah Bangsawan.
Akar sejarah Munculnya Bangsawan di Bone
Cikal bakal munculnya kelompok bangsawan di Sulawesi Selatan pada umumnya dan di Bone pada khususnya bermula ketika kondisi sosial dan politik dalam keadaan kacau balau. Pada waktu itu di wilayah Bone ada 7 daerah (wanua) yang dipimpin masing-masing oleh seorang pemimpin (matowa). Dalam catatan lontarak kondisi sosial politik dalam keadaan kacau balau. Keadaan pada waktu itu diibaratkan bagaikan ikan besar yang memangsa ikan-ikan kecil. Kekacauan itu berlangsung lama[5] dan dapat terselesaikan dengan munculnya seseorang yang tidak diketahui dari mana datangnya dan siapa namanya. Masyarakatpun menyebutnya Tomanurung.[6] Keturunan to manurung inilah yang kelak menjadi bangsawan tinggi (pusat), sedangkan kepala-kepala daerah atau wilayah yang berjumlah tujuh, menjadi bangsawan rendah. Jabatan raja dikhususkan bagi mereka yang berasal dari bangsawan tinggi, sedangkan bangsawan rendah tetap menjadi pemimpin di wilayah atau daerahnya. Ketika terbentuk Kerajaan Bone, para matowa yang berjumlah tujuh orang itu disatukan dalam satu dewan yang dinamakan Matowa Pitu.[7]
Sebelum Tomanurung diangkat menjadi raja, diadakan perjanjian antara kedua belah pihak. Di dalam lontarak ditulis:
Berkata Matowa: “Adapun kami datang kepadamu Tuan, kami berkeinginan memperoleh pengasihanmu. Tetaplah kamu tuan di negeri ini. Janganlah kamu mairat (menghilang). Kamulah tuan kami jadikan raja. Kehendakmu adalah kehendak kami, demikian pula perintahmu. Walaupun anak kami, atau isteri kami, bila kamu tidak merestuinya, kamipun tidak mempertahankannya, asalkan paduka sudi menetap di sini. Padukalah junjungan kami. Akan tetapi, tuntunlah kami sehingga kami tidak tersesat, kamu jagalah kami (seperti menjaga padi dari burung pipit) agar tidak hampa, selimutilah kami sehingga kami tidak kedinginan”.
Berkata Tomanurung: “Apakah kalian tidak berhati dua, tidakkah kalian akan mengingkarinya”?.
Perjanjian ini dijadikan sebagai legitimasi bagi Tomanurung dan keturunannya untuk tetap menduduki jabatan sebagai raja. Meskipun demikian, Tomanurung juga mempunyai kewajiban untuk menjaga ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat. Selama penguasa menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik, selama itu pula masyarakat akan patuh dan tunduk atas perintahnya. Pembagian tugas dan tanggung jawab ini dapat dianggap sebagai awal terjadinya bangsawan pusat dan bangsawan daerah. Tomanurung dan keturunannya menjadi kelompok bangsawan pusat, sedangkan para matoa di tujuh wanua menjadi bangsawan daerah.
Kelompok bangsawan Bone yang berada di pusat, melakukan aturan yang sangat ketat untuk menjaga kemurniaan darah kebangsawanannya. Di buat aturan ketat bagi siapapun yang akan menjadi raja. Raja terbuka untuk siapa saja, tidak ada pembatasan bahwa raja harus laki-laki atau perempuan. Seorang yang akan diangkat atau ditunjuk menjadi raja adalah mereka yang memiliki darah murni keturunan Tomanurung.
Pada tahun 1905 Pemerintah Hindia Belanda memutuskan menyerang Kerajaan Bone. Setelah menaklukkan Bone dan akhirnya seluruh Sulawesi Selatan, dibangunlah sistem pemerintahan baru yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Posisi-posisi penting dan strategis dalam kerajaan yang selama ini dipegang oleh kalangan bangsawan ditiadakan, bahkan posisi raja dihilangkan. Para bangsawan yang anti Belanda ditangkap dan sebagian lagi dipindahkan dari daerah kekuasaannya, daerah yang ditempati secara turun temurun. Mereka ditempatkan pada tempat baru yang sama sekali asing baginya.
Pemerintah Hindia Belanda menganggap bahwa kaum bangsawanlah yang membuat kesengsaraan rakyat. Memindahkan kelompok bangsawan ke tempat yang baru dipandang sebagai satu cara mengurangi atau menghilangkan pengaruh Kelompok bangsawan. Persoalan baru muncul karena sistem pemerintahan baru yang diterapkan Belanda tidak dapat berjalan dengan baik. Banyak kepala kampung yang tidak dapat menjalankan tugasnya karena tekanan psikologis yang dihadapi. Kepala kampung yang ditempatkan pada satu tempat tidak dapat berbuat banyak dalam menjalankan tugasnya karena di tempat itu terdapat kelompok bangsawan yang lebih tinggi derajatnya.
Kebijakan Belanda itu menyebabkan banyak bangsawan yang mengungsi, tidak saja ke daerah-daerah di luar Bone, tetapi sebagian dari mereka tetap mengungsi di wilayah kerajaan Bone sendiri. Selain itu muncul pergolakan-pergolakan yang dilakukan oleh kelompok bangsawan yang kedudukannya mulai tergeser dengan masuknya Belanda. Bagi mereka Oleh karena sistem adminstrasi tidak dapat berjalan lancar, akhirnya Pemerintah Hindia Belanda mengangkat kembali raja di Kerajaan Bone pada tahun 1931.
Perkawinan dan Jaringan Keluarga
Tidak banyak suku bangsa di Asia Tenggara yang menempatkan perkawinan sepupu sekali sebagai satu perkawinan ideal. Kabupaten Bone di Sulawesi Selatan, mungkin salah satu yang tidak banyak itu yang menempatkan perkawinan sepupu satu kali sebagai perkawinan ideal. Jika kita mencoba melihat pada raja-raja di masa lalu, perkawinan antara sepupu menjadi satu cara agar darah keturunan bangsawan yang mengalir dalam tubuhnya tidak menyebar kemana-mana. Selain perkawinan sepupu satu kali, perkawinan sepupu dua kali dan tiga kali menjadi pilihan berikutnya.
Perkawinan tidak saja melibatkan kedua mempelai tetapi juga secara tidak langsung melibatkan seluruh keluarga. Keluarga kedua belah pihak dianggap kerabat. Keterlibatan keluarga itu tercermin erat pada sistem perkawinan yang ada di Bone. Meskipun demikian, ukuran darah hanya ada dipihak laki-laki. Hanya pihak laki-laki saja yang menurunkan keturunan. Oleh karena itu dapat saja terjadi bahwa satu keluarga besar adalah satu turunan, tetapi memiliki kemurniaan darah yang tidak sederajat.
Pada masa raja Bone II berkuasa, ia mulai meluaskan pengaruh dan kekuasaannya dengan menaklukkan beberapa daerah dan kerajaan yang ada di sekitarnya. Dalam lontarak disebutkan bahwa di antara seluruh kerajaan yang ada di sekitar Bone, ada satu kerajaan yang tidak dapat dikuasai, yaitu Kerajaan Palakka. Tiga bulan lamanya La Ummasa berusaha menaklukkan kerajaan itu tetapi tidak berhasil. Akhirnya La Ummasa mengambil jalan damai dengan menikahkan adiknya dengan raja Palakka yang ketika itu juga belum berkeluarga.
Pada waktu raja Bone II La Ummasa[8] mulai uzur, disebutkan dalam lontarak bahwa ia merasa gelisah karena tidak memiliki turunan yang dianggap layak menggantikannya karena isterinya berasal dari rakyat biasa. La Ummasa memiliki dua orang anak laki-laki tetapi ibunya bukan berasal dari kalangan bangsawan tinggi. Untuk itu La Ummasa mengambil keponakannya yang berusia dua[9] hari untuk dijadikan raja di Kerajaan Bone. Keponakannya itu berasal dari Kerajaan Palakka.[10] Dalam perkembangan berikutnya, seluruh raja-raja yang memerintah di Kerajaan Bone berasal dari keturunan Tomanurung.
Pada waktu Arung Palakka berkuasa (1670-1696), kelompok bangsawan istana Kerajaan Bone memperluas jaringan keluarganya. Jika sebelumnya jaringan bangsawan Kerajaan Bone diperluas dengan jalan kawin mawin antara bangsawan tinggi dan bangsawan rendah di dalam Kerajaan Bone itu sendiri. Tidak demikian halnya ketika Arung Palakka berkuasa. Arung Palakka melakukan politik perkawinan dengan menikahkan, keponakannya yang bernama La Patau dengan putri-putri bangsawan tinggi Kerajaan Luwu, Gowa, Bone, dan Soppeng. Khusus untuk dua kerajaan yang disebutkan terdahulu, Arung Palakka membuat kesepakatan untuk memilih anak yang lahir dari perkawinan itu menjadi raja di kerajaan ibunya berasal. Demikian lah yang terjadi di Kerajaan Gowa dan Luwu. Batari Toja yang lahir dari perkawinan La Patau Matanna Tikka dengan isterinya We Ummu yang berasal dari Luwu, diangkat menjadi raja di Kerajaan Luwu. Demikian pula La Pareppa To Sappewali diangkat menjadi raja di Kerajaan Gowa menggantikan mertuanya, Sultan Abdul Jalil. Kawin mawin di kalangan bangsawan ini diikuti pula oleh kalangan bangsawan yang ada di lapisan bawah.
Perkawinan politik di kalangan bangsawan ini memungkinkan bangsawan Bone memiliki jaringan keluarga yang sangat luas. Tidak saja di wilayah Bone tetapi juga di Sulawesi Selatan. Bangsawan Bone masuk ke dalam istana Kerajaan Gowa dan Tallo, demikian pula di Kerajaan Luwu.[11] Jaringan kekerabatan yang demikian luas itu, menjadi satu modal dasar yang dimiliki oleh kalangan bangsawan dalam mempertahankan kekuasaannya.
Pada waktu raja Bone X, We Benrigau berkuasa, ia telah mengubah gelar matowa menjadi arung. Perubahan gelar itu membuat para matowa ditempatkan di pusat kekuasaan Kerajaan Bone. Perubahan gelar ini juga membuat status mereka naik setingkat dan dapat pula menduduki jabatan-jabatan tinggi di pusat Kerajaan.
Perubahan status itu membuat perkawinan antara bangsawan pusat kerajaan dengan bangsawan daerah mulai terbangun. Meskipun demikian, seorang perempuan bangsawan tidak diperkenankan menikah dengan laki-laki kelas bangsawan yang lebih rendah statusnya dari dirinya. Akan tetapi hal sebaliknya tidak berlaku. Seorang laki-laki bangsawan diperkenankan menikah dengan perempuan bangsawan yang lebih rendah dari status dirinya. Aturan ini membuat bangsawan pusat dengan leluasa dapat mengembangkan jaringan keluarganya jauh sampai ke daerah-daerah.
Dalam sejarah panjang Kerajaan Bone, perluasan wilayah yang dilakukan oleh bangsawan pusat dilakukan dengan tiga cara. Pertama dengan penaklukan. Perluasan wilayah dengan jalan penaklukan telah dilakukan sejak raja Bone II, La Ummasa. Daerah-daerah yang berada di sekitar wilayah Kerajaan Bone ditaklukan. Kedua, wilayah Kerajaan Bone semakin luas karena penguasa-penguasa lokal datang sendiri ke pusat kerajaan dan menyatakan tunduk dan patuh pada Kerajaan Bone. Cara ketiga adalah lewat perkawinan. Bangsawan pusat meluaskan pengaruhnya dengan cara menikah dengan puteri-puteri bangsawan lokal.
Ketiga cara yang dilakukan itu berdampak pada kesetiaan daerah itu pada pusat kekuasaan. Wilayah atau daerah yang ditaklukkan dengan jalan kekerasan memiliki kesetiaan di atas dari wilayah yang dengan sukarela datang bergabung ke dalam Kerajaan Bone. Mereka bergabung karena nama besar Kerajaan Bone. Wilayah atau daerah yang bergabung dengan Kerajaan Bone dengan jalan pernikahan kesetiaannya jauh lebih besar dibandingkan yang lainnya. Hal yang demikian ini membuat pengaruh dan kekuasaan bangsawan pusat makin menyebar dan meluas.
Perluasan pengaruh bangsawan itu tetap berakar di banyak daerah di Bone, karena mereka tidak saja bertindak sebagai pelindung, tetapi juga menghidupi rakyat yang berada di wilayah itu. Hal itu tentu diperkuat jika raja yang berkuasa menjalankan kekuasaannya dengan baik.
Bangsawan dan Orang Biasa
Pelapisan sosial di Bone menempatkan bangsawan pada posisi puncak. Di kalangan bangsawanpun terdapat hirarki yang muncul sehubungan dengan perkawinan yang dilakukan oleh kelompok bangsawan. Orang biasa atau orang merdeka berada pada posisi kedua dan pada posisi ke tiga adalah budak atau ata.[12]
Dalam perkembangannya, karena kekuasaan yang melekat pada diri bangsawan, mereka akhirnya memiliki tanah atau empang yang dikerjakan oleh penduduk.[13] Penduduk yang mengerjakan sawah atau empang ( budak atau orang merdeka) akan mendapatkan perlindungan, tidak saja dalam soal material tetapi juga dalam soal jaminan keamanan. Mereka mendapat perlindungan dari bangsawan yang mempekerjakannya. Kesulitan yang diderita oleh seorang budak diselesaikan oleh tuannya. Dalam perkembangannya muncul kepatuhan yang sangat tinggi kepada tuannya. Budak memerlukan tuannya demikian pula sebaliknya. Hubungan timbal balik ini akhirnya menyatu dalam satu ikatan batin sehingga siri seorang budak menjadi siri pula pada tuannya.
Pengikut tidak saja diperoleh dengan sukarela, tetapi juga diperoleh setelah terjadi perang. Pihak yang kalah akan dijadikan budak dan mereka ini akan dipekerjakan pada bangsawan. Sebagai contoh adalah perang yang terjadi pada tahun 1643-1644. Perang yang terjadi antara Kerajaan Bone dan Gowa pada waktu itu dimenangkan oleh Gowa. Banyak orang Bone dan Soppeng ketika itu ditangkap dan dijadikan budak di Kerajaan Gowa.
Gengsi seorang bangsawan terletak juga pada berapa banyak budak yang dimiliki. Makin banyak budak yang dimiliki makin tinggi pula gengsi seorang bangsawan. Budak dapat saja disuruh untuk melakukan apa saja asalkan hidup dan kehidupannya dijamin oleh tuannya. Keadaan yang demikian ini membuat kelompok bangsawan harus pula memiliki sumber-sumber kekuasaan untuk menghidupi budaknya.
Mitos di Sekitar Bangsawan
Kepatuhan pada kelompok bangsawan dibangun, tidak saja lewat tulisan tetapi juga lewat cerita-cerita rakyat di masa lalu. Kondisi sosial, politik, dan kepercayaan masyarakat di masa lalu sangat menopang keberadaan para bangsawan sehingga kehadirannya menjadi sesuatu yang diharapkan kalau tidak bisa kita katakan dibutuhkan. Mitos kehadiran Tomanurung misalnya, terus menerus dipertahankan. Perjanjian antara Tomanurung dan 7 orang penguasa lokal tetap dipertahankan. Perjanjian ini dikumandangkan setiap kali pengangkatan seorang raja yang baru.
Lewat cerita-cerita rakyat, cerita Tomanurung diubahsuaikan sedemikian rupa sehingga tampak bahwa Tomanurung dan keturunannya adalah mereka yang layak untuk berkuasa. Cerita Tomanurung ini diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di kalangan istana ditanamkan petua dan bagaimana yang seharusnya seorang keturunan bangsawan Tomanurung dalam memerintah.
Mitos Tomanurung juga disebarkan keluar melalui media sastra yang disebut massurek.[14] Cerita tentang Tomanurung dan segala kelebihannya dioleh sedemikian rupa oleh para passurek, sehingga ceritanya menjadi mengasyikkan dan membuat betah bagi mereka yang mendengarnya. Lewat media ini Tomanurung dan keturunannya dianggap orang yang pantas memerintah. Masyarakat percaya bahwa yang berhak berkuasa adalah mereka yang berasal dari kalangan bangsawan. Mereka dianggap dapat memberi kesejahteraan dan keamanan bagi masyarakat.
Demokrasi di Kabupaten Bone
Pengaruh besar yang dimiliki oleh kelompok bangsawan, baik yang didapatkan dari kepercayaan masyarakat terhadap sosok bangsawan, maupun karena peran ekonomi yang dimainkan, secara tidak langsung membuat nilai-nilai demokrasi tidak berjalan dengan baik. Masyarakat tidak memiliki daya untuk bersikap kritis dalam melihat banyak persoalan yang ada. Mereka mengikuti apa yang dikatakan oleh kelompok bangsawan atau patron mereka yang dalam banyak hal telah memberi ketenangan hidup karena kepemilikan modal yang banyak. Para pengikut (client) yang mengetahui bahwa patronnya ikut dalam pemilihan, baik itu pemilihan kepala desa maupun bupati atau apa saja yang melibatkan patronnya, akan melakukan apa saja untuk memenangkan patronnya. Keadaan yang demikian ini membuat sistem demokrasi berjalan tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar demokrasi.
Ikatan keluarga yang dibangun lewat perkawinan telah memunculkan kerabat semakin meluas. Kecenderungan perkawinan sepupu satu kali, dua kali, dan tiga kali, di kalangan bangsawan tidak saja memperluas kerabatnya tetapi juga secara kuantitas jumlahnya semakin banyak. Oleh karena itu ada desa di Bone yang dapat dikatakan bahwa penduduknya bukan ‘orang lain’, hampir seluruhnya terdiri dari kerabat mereka. Ikatan keluarga yang dibangun lewat perkawinan yang semacam itu menjadikan mereka memiliki ikatan batin yang jauh lebih dalam dibandingkan dengan yang lainnya. Akhirnya, mereka lebih mementingkan kerabat dalam banyak hal dibandingkan orang lain. Pengangkatan seseorang dalam satu kedudukan tidak lagi didasarkan atas persaingan terbuka, tetapi menitikberatkan pada kedekatan (kerabat). Hal yang demikian ini tentu saja tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
Keterlibatan To massegek (orang perkasa) dalam percaturan politik telah juga menodai nilai-nilai demokrasi. Keberadaan To massegek ini pertama kali muncul ketika ditahun 1998 sekelompok mahasiswa dari Makassar datang ke Bone untuk menurunkan bupati Bone yang dianggap melakukan KKN. Kedatangan mereka dihadang oleh To massegek.
Dari sudut perilakunya, To massegek dapat dibagi atas dua. Ada yang termasuk berperilaku baik dan ada juga yang tidak baik. Kondisi politik yang kurang baik akan membuat munculnya To massegek. Mereka ini kemudian menguasai wilayah-wilayah tertentu, ada yang menguasai pelabuhan Bajoe, terminal, pusat-pusat pertokoan, dan lain sebagainya. Kelompok-kelompok ini banyak dimanfaatkan oleh mereka yang menginginkan kekuasaan sehingga terjadi terror, terutama menjelang pemilihan. Keadaan yang demikian ini tentu saja tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
Penutup
Jaringan kekerabatan yang demikian luas menyebar hampir di seluruh pelosok daerah Bone, menjadi modal besar bagi kalangan bangsawan untuk ikut bertarung dalam pemilihan kepala desa atau bupati. Para bangsawan telah berhasil memainkan ‘kayu tiga’ untuk mewujudkan ambisinya. Pemilihan dengan sistem satu orang satu suara telah menguntungkan kelompok bangsawan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika calon yang diusung menjadi bupati, baik yang diusung oleh partai politik maupun lewat jalur perorangan adalah mereka yang memiliki darah bangsawan.
Mitos Tomanurung ini telah memberi legitimasi yang sangat luar biasa pada kelompok bangsawan Bone sampai sekarang ini. Cerita kehadiran Tomanurung yang dapat menyelesaikan seluruh persoalan yang ada, dipercaya oleh masyarakat sebagai sesuatu yang benar. Kepercayaan itu menjadikan mereka yakin bahwa kelompok bangsawanlah yang harus memegang kekuasaan. Jika yang berkuasa bukan berasal dari kalangan bangsawan mereka yakini akan terjadi kekacauan.[15]
Daftar Pustaka
Abdur Razak Daeng Patunru, dkk., Sejarah Bone, Ujung Pandang: YKSS, 1995.
Andaya, Leonard Y., The Heritage of Arung Palakka A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century), VKI deel 90, Leiden: The Hague – Martinus Nijhoff, 1981.
Andi Massiara Daeng Rapi, Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan, Jakarta: Yayasan Bhinneka Tunggal Ika, 1988.
Andi Zainal Abidin Farid, Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi-Selatan, Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1999.
Mattulada, Latoa Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995.
Suriadi Mappangara, Kerajaan dan Bangsawan Bone di Tengah Perubahan Rezim 1811 -1946,Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2010.
Catatan Kaki
[1] Staf pengajar Jurusan Ilmu Sejarah, Universitas Hasanuddin, Makassar.
[2]Ke enam pasang calon tersebut adalah: 1. Andi Mustaman-Andi Sultan Pawi 2. Andi Irsan Idris Galigo-Andi Yuslim Patawari 3. Andi Taufan Tiro-Andi Promal Pawi 4. Andi Fahsar M Padjalangi-Ambo Dalle 5. Andi Mappamadeng Dewang-Andi Said Pabokori 6. Andi Mangunsidi Massarapi-Sumardi Sulaiman.
[3] Pada tahun 2008 pemilihan Kepalada Daerah di Kabupaten Bone diikuti oleh 4 pasangan calon. Keempat calon bupati itu semuanya dari kalangan bangsawan.
[4]Beliau adalah bupati yang ke 7 dan memerintah mulai tanggal 13 Juli 1977 – 22 Februari 1982. Beliau akhirnya mati dibunuh karena kasus perempuan.
[5] Dalam lontarak disebutkan berlangsung selama 7 pariaman. Tidak diketahui dengan pasti 1 pariaman berapa tahun lamanya.
[6] Kata To manurung berasal dari dua kata yaitu to yang berarti orang dan manurung yang berarti turun.
[7] Tujuh matowa. Mereka adalah anggota dewan yang bertugas memberi nasehat pada raja dalam berbagai hal.
[8] La Ummasa bersaudara sebanyak 6 orang. La Ummasa adalah anak kedua.
[9] Pada sumber lain menyebut satu hari.
[10] Pada waktu La Ummasa meluaskan wilayah pengaruh dan kekuasaannya dengan jalan perang, ada satu kerajaan yang tidak dapat ditaklukkan, yaitu Kerajaan Palakka. Perang antara keduanya berlangsung selama dua bulan. Untuk mengakhiri perang, La Ummasa menikahkan adik perempuannya dengan raja Palakka, La Pattikkeng Arung Palakka.
[11] Dalam catatan Lontarak diketahui bahwa ada tiga kerajaan besar di Sulawesi Selatan, yaitu Bone, Luwu dan Gowa. Ketika Islam pertama kali disiarkan di Sulawesi Selatan, ketiga penyebar agama Islam yaitu Dato Ri Bandang, Dato Pattimang, dan Dato masyarakat menyebarkan untuk pertama kalinya di Luwu, karena wilayah ini dianggap memiliki kewibawaan yang besar. Ketika ketiga dato itu memberi amanah kepada raja Luwu yang baru memeluk islam untuk bertanggung jawab dalam penyebaran Islam, raja Luwu meminta ketiga dato itu untuk ke Kerajaan Gowa karena Kerajaan Gowa memiliki kekuasaan yang besar.
[12] Ada yang menganggap bahwa stratifikasi sosial hanya ada dua.
[13]Pada awalnya Tomanurung ini tidak memiliki apa-apa yang ada hanyalah barang-barang yang dibawahnya berupa paying dan beberapa benda lainnya yang kelak dianggap sebagai benda kebesaran kerajaan. Tomanurung kemudian diberikan tanah untuk menghidupi istana. Tanah itu dikerjakan oleh rakyat, Tanah ini dikenal sebagai tanah arajang,
[14] Massurek dilakukan dalam bentuk nyanyian yang diiringi dengan alat musik. Isi nyanyian bervariasi, seperti misalnya tentang aktivitas pertania, perjodohan, perang, legendan dan mitos.
[15] Pada pemilihan Kepala Desa di Tobenteng pada awal tahun 2004,penduduk di salah satu kampung hanya bersedia ikut memilih jika calon Kepala Desa berasal dari kalangan bangsawan.
Sumber
Diangkat dari materi Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 di Yogyakarta.
Foto : Kas-Kus
Oleh : Dr. Suriadi Mappangara, M.Hum.[1]
( Dipaparkan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 )
Pada tanggal 22 Januari 2013, Kabupaten Bone menggelar Pemilihan Kepala Daerah yang diikuti oleh 6 pasang calon.[2] Menariknya, dari 6 nama calon bupati itu semuanya berasal dari kalangan bangsawan.[3] Selama ini, sudah ada tiga belas bupati yang pernah memerintah di Kabupaten Bone, dan hampir semuanya adalah bangsawan. Hanya satu yang bukan berasal dari kalangan bangsawan Bone, yaitu Kol.H.P.B. Harahap.[4] Meskipun demikian, menjadi satu pertanyaan besar adalah apakah di era reformasi ini tidak ada calon yang dipandang layak untuk dijual di Kabupaten Bone selain dari mereka yang berasal dari kalangan bangsawan?
Di era demokrasi ini, tidak ada larangan seorangpun untuk ikut dalam pemilihan kepala daerah, termasuk kalangan bangsawan. Akan tetapi, mengapa partai-partai politik yang demikian banyak di Bone, tidak mengusung figur yang bukan dari kalangan bangsawan? Di mana letak peran partai dalam proses pendidikan politik dalam rangka melakukan pengkaderan ke depan. Tampak bahwa partai politik tidak memiliki pilihan lain kecuali ikut-ikutan mengusung calon dari kalangan bangsawan.
Pertanyaan selanjutnya adalah ada apa dengan bangsawan ini. Mengapa mereka sangat dominan dan masih dikehendaki oleh masyarakat untuk tetap memegang kekuasaan. Tidakkah dikhawatirkan bahwa kehadiran mereka akan menodai jalannya demokrasi? Apakah keunggulan yang dimiliki oleh bangsawan sehingga mereka tetap dapat bertahan dan masih berpengaruh besar dalam hidup dan kehidupan masyarakat Bone sampai sekarang ini? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang coba dibicarakan dalam makalah yang berjudul Demokrasi di Tanah Bangsawan.
Akar sejarah Munculnya Bangsawan di Bone
Cikal bakal munculnya kelompok bangsawan di Sulawesi Selatan pada umumnya dan di Bone pada khususnya bermula ketika kondisi sosial dan politik dalam keadaan kacau balau. Pada waktu itu di wilayah Bone ada 7 daerah (wanua) yang dipimpin masing-masing oleh seorang pemimpin (matowa). Dalam catatan lontarak kondisi sosial politik dalam keadaan kacau balau. Keadaan pada waktu itu diibaratkan bagaikan ikan besar yang memangsa ikan-ikan kecil. Kekacauan itu berlangsung lama[5] dan dapat terselesaikan dengan munculnya seseorang yang tidak diketahui dari mana datangnya dan siapa namanya. Masyarakatpun menyebutnya Tomanurung.[6] Keturunan to manurung inilah yang kelak menjadi bangsawan tinggi (pusat), sedangkan kepala-kepala daerah atau wilayah yang berjumlah tujuh, menjadi bangsawan rendah. Jabatan raja dikhususkan bagi mereka yang berasal dari bangsawan tinggi, sedangkan bangsawan rendah tetap menjadi pemimpin di wilayah atau daerahnya. Ketika terbentuk Kerajaan Bone, para matowa yang berjumlah tujuh orang itu disatukan dalam satu dewan yang dinamakan Matowa Pitu.[7]
Sebelum Tomanurung diangkat menjadi raja, diadakan perjanjian antara kedua belah pihak. Di dalam lontarak ditulis:
Berkata Matowa: “Adapun kami datang kepadamu Tuan, kami berkeinginan memperoleh pengasihanmu. Tetaplah kamu tuan di negeri ini. Janganlah kamu mairat (menghilang). Kamulah tuan kami jadikan raja. Kehendakmu adalah kehendak kami, demikian pula perintahmu. Walaupun anak kami, atau isteri kami, bila kamu tidak merestuinya, kamipun tidak mempertahankannya, asalkan paduka sudi menetap di sini. Padukalah junjungan kami. Akan tetapi, tuntunlah kami sehingga kami tidak tersesat, kamu jagalah kami (seperti menjaga padi dari burung pipit) agar tidak hampa, selimutilah kami sehingga kami tidak kedinginan”.
Berkata Tomanurung: “Apakah kalian tidak berhati dua, tidakkah kalian akan mengingkarinya”?.
Perjanjian ini dijadikan sebagai legitimasi bagi Tomanurung dan keturunannya untuk tetap menduduki jabatan sebagai raja. Meskipun demikian, Tomanurung juga mempunyai kewajiban untuk menjaga ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat. Selama penguasa menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik, selama itu pula masyarakat akan patuh dan tunduk atas perintahnya. Pembagian tugas dan tanggung jawab ini dapat dianggap sebagai awal terjadinya bangsawan pusat dan bangsawan daerah. Tomanurung dan keturunannya menjadi kelompok bangsawan pusat, sedangkan para matoa di tujuh wanua menjadi bangsawan daerah.
Kelompok bangsawan Bone yang berada di pusat, melakukan aturan yang sangat ketat untuk menjaga kemurniaan darah kebangsawanannya. Di buat aturan ketat bagi siapapun yang akan menjadi raja. Raja terbuka untuk siapa saja, tidak ada pembatasan bahwa raja harus laki-laki atau perempuan. Seorang yang akan diangkat atau ditunjuk menjadi raja adalah mereka yang memiliki darah murni keturunan Tomanurung.
Pada tahun 1905 Pemerintah Hindia Belanda memutuskan menyerang Kerajaan Bone. Setelah menaklukkan Bone dan akhirnya seluruh Sulawesi Selatan, dibangunlah sistem pemerintahan baru yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Posisi-posisi penting dan strategis dalam kerajaan yang selama ini dipegang oleh kalangan bangsawan ditiadakan, bahkan posisi raja dihilangkan. Para bangsawan yang anti Belanda ditangkap dan sebagian lagi dipindahkan dari daerah kekuasaannya, daerah yang ditempati secara turun temurun. Mereka ditempatkan pada tempat baru yang sama sekali asing baginya.
Pemerintah Hindia Belanda menganggap bahwa kaum bangsawanlah yang membuat kesengsaraan rakyat. Memindahkan kelompok bangsawan ke tempat yang baru dipandang sebagai satu cara mengurangi atau menghilangkan pengaruh Kelompok bangsawan. Persoalan baru muncul karena sistem pemerintahan baru yang diterapkan Belanda tidak dapat berjalan dengan baik. Banyak kepala kampung yang tidak dapat menjalankan tugasnya karena tekanan psikologis yang dihadapi. Kepala kampung yang ditempatkan pada satu tempat tidak dapat berbuat banyak dalam menjalankan tugasnya karena di tempat itu terdapat kelompok bangsawan yang lebih tinggi derajatnya.
Kebijakan Belanda itu menyebabkan banyak bangsawan yang mengungsi, tidak saja ke daerah-daerah di luar Bone, tetapi sebagian dari mereka tetap mengungsi di wilayah kerajaan Bone sendiri. Selain itu muncul pergolakan-pergolakan yang dilakukan oleh kelompok bangsawan yang kedudukannya mulai tergeser dengan masuknya Belanda. Bagi mereka Oleh karena sistem adminstrasi tidak dapat berjalan lancar, akhirnya Pemerintah Hindia Belanda mengangkat kembali raja di Kerajaan Bone pada tahun 1931.
Perkawinan dan Jaringan Keluarga
Tidak banyak suku bangsa di Asia Tenggara yang menempatkan perkawinan sepupu sekali sebagai satu perkawinan ideal. Kabupaten Bone di Sulawesi Selatan, mungkin salah satu yang tidak banyak itu yang menempatkan perkawinan sepupu satu kali sebagai perkawinan ideal. Jika kita mencoba melihat pada raja-raja di masa lalu, perkawinan antara sepupu menjadi satu cara agar darah keturunan bangsawan yang mengalir dalam tubuhnya tidak menyebar kemana-mana. Selain perkawinan sepupu satu kali, perkawinan sepupu dua kali dan tiga kali menjadi pilihan berikutnya.
Perkawinan tidak saja melibatkan kedua mempelai tetapi juga secara tidak langsung melibatkan seluruh keluarga. Keluarga kedua belah pihak dianggap kerabat. Keterlibatan keluarga itu tercermin erat pada sistem perkawinan yang ada di Bone. Meskipun demikian, ukuran darah hanya ada dipihak laki-laki. Hanya pihak laki-laki saja yang menurunkan keturunan. Oleh karena itu dapat saja terjadi bahwa satu keluarga besar adalah satu turunan, tetapi memiliki kemurniaan darah yang tidak sederajat.
Pada masa raja Bone II berkuasa, ia mulai meluaskan pengaruh dan kekuasaannya dengan menaklukkan beberapa daerah dan kerajaan yang ada di sekitarnya. Dalam lontarak disebutkan bahwa di antara seluruh kerajaan yang ada di sekitar Bone, ada satu kerajaan yang tidak dapat dikuasai, yaitu Kerajaan Palakka. Tiga bulan lamanya La Ummasa berusaha menaklukkan kerajaan itu tetapi tidak berhasil. Akhirnya La Ummasa mengambil jalan damai dengan menikahkan adiknya dengan raja Palakka yang ketika itu juga belum berkeluarga.
Pada waktu raja Bone II La Ummasa[8] mulai uzur, disebutkan dalam lontarak bahwa ia merasa gelisah karena tidak memiliki turunan yang dianggap layak menggantikannya karena isterinya berasal dari rakyat biasa. La Ummasa memiliki dua orang anak laki-laki tetapi ibunya bukan berasal dari kalangan bangsawan tinggi. Untuk itu La Ummasa mengambil keponakannya yang berusia dua[9] hari untuk dijadikan raja di Kerajaan Bone. Keponakannya itu berasal dari Kerajaan Palakka.[10] Dalam perkembangan berikutnya, seluruh raja-raja yang memerintah di Kerajaan Bone berasal dari keturunan Tomanurung.
Pada waktu Arung Palakka berkuasa (1670-1696), kelompok bangsawan istana Kerajaan Bone memperluas jaringan keluarganya. Jika sebelumnya jaringan bangsawan Kerajaan Bone diperluas dengan jalan kawin mawin antara bangsawan tinggi dan bangsawan rendah di dalam Kerajaan Bone itu sendiri. Tidak demikian halnya ketika Arung Palakka berkuasa. Arung Palakka melakukan politik perkawinan dengan menikahkan, keponakannya yang bernama La Patau dengan putri-putri bangsawan tinggi Kerajaan Luwu, Gowa, Bone, dan Soppeng. Khusus untuk dua kerajaan yang disebutkan terdahulu, Arung Palakka membuat kesepakatan untuk memilih anak yang lahir dari perkawinan itu menjadi raja di kerajaan ibunya berasal. Demikian lah yang terjadi di Kerajaan Gowa dan Luwu. Batari Toja yang lahir dari perkawinan La Patau Matanna Tikka dengan isterinya We Ummu yang berasal dari Luwu, diangkat menjadi raja di Kerajaan Luwu. Demikian pula La Pareppa To Sappewali diangkat menjadi raja di Kerajaan Gowa menggantikan mertuanya, Sultan Abdul Jalil. Kawin mawin di kalangan bangsawan ini diikuti pula oleh kalangan bangsawan yang ada di lapisan bawah.
Perkawinan politik di kalangan bangsawan ini memungkinkan bangsawan Bone memiliki jaringan keluarga yang sangat luas. Tidak saja di wilayah Bone tetapi juga di Sulawesi Selatan. Bangsawan Bone masuk ke dalam istana Kerajaan Gowa dan Tallo, demikian pula di Kerajaan Luwu.[11] Jaringan kekerabatan yang demikian luas itu, menjadi satu modal dasar yang dimiliki oleh kalangan bangsawan dalam mempertahankan kekuasaannya.
Pada waktu raja Bone X, We Benrigau berkuasa, ia telah mengubah gelar matowa menjadi arung. Perubahan gelar itu membuat para matowa ditempatkan di pusat kekuasaan Kerajaan Bone. Perubahan gelar ini juga membuat status mereka naik setingkat dan dapat pula menduduki jabatan-jabatan tinggi di pusat Kerajaan.
Perubahan status itu membuat perkawinan antara bangsawan pusat kerajaan dengan bangsawan daerah mulai terbangun. Meskipun demikian, seorang perempuan bangsawan tidak diperkenankan menikah dengan laki-laki kelas bangsawan yang lebih rendah statusnya dari dirinya. Akan tetapi hal sebaliknya tidak berlaku. Seorang laki-laki bangsawan diperkenankan menikah dengan perempuan bangsawan yang lebih rendah dari status dirinya. Aturan ini membuat bangsawan pusat dengan leluasa dapat mengembangkan jaringan keluarganya jauh sampai ke daerah-daerah.
Dalam sejarah panjang Kerajaan Bone, perluasan wilayah yang dilakukan oleh bangsawan pusat dilakukan dengan tiga cara. Pertama dengan penaklukan. Perluasan wilayah dengan jalan penaklukan telah dilakukan sejak raja Bone II, La Ummasa. Daerah-daerah yang berada di sekitar wilayah Kerajaan Bone ditaklukan. Kedua, wilayah Kerajaan Bone semakin luas karena penguasa-penguasa lokal datang sendiri ke pusat kerajaan dan menyatakan tunduk dan patuh pada Kerajaan Bone. Cara ketiga adalah lewat perkawinan. Bangsawan pusat meluaskan pengaruhnya dengan cara menikah dengan puteri-puteri bangsawan lokal.
Ketiga cara yang dilakukan itu berdampak pada kesetiaan daerah itu pada pusat kekuasaan. Wilayah atau daerah yang ditaklukkan dengan jalan kekerasan memiliki kesetiaan di atas dari wilayah yang dengan sukarela datang bergabung ke dalam Kerajaan Bone. Mereka bergabung karena nama besar Kerajaan Bone. Wilayah atau daerah yang bergabung dengan Kerajaan Bone dengan jalan pernikahan kesetiaannya jauh lebih besar dibandingkan yang lainnya. Hal yang demikian ini membuat pengaruh dan kekuasaan bangsawan pusat makin menyebar dan meluas.
Perluasan pengaruh bangsawan itu tetap berakar di banyak daerah di Bone, karena mereka tidak saja bertindak sebagai pelindung, tetapi juga menghidupi rakyat yang berada di wilayah itu. Hal itu tentu diperkuat jika raja yang berkuasa menjalankan kekuasaannya dengan baik.
Bangsawan dan Orang Biasa
Pelapisan sosial di Bone menempatkan bangsawan pada posisi puncak. Di kalangan bangsawanpun terdapat hirarki yang muncul sehubungan dengan perkawinan yang dilakukan oleh kelompok bangsawan. Orang biasa atau orang merdeka berada pada posisi kedua dan pada posisi ke tiga adalah budak atau ata.[12]
Dalam perkembangannya, karena kekuasaan yang melekat pada diri bangsawan, mereka akhirnya memiliki tanah atau empang yang dikerjakan oleh penduduk.[13] Penduduk yang mengerjakan sawah atau empang ( budak atau orang merdeka) akan mendapatkan perlindungan, tidak saja dalam soal material tetapi juga dalam soal jaminan keamanan. Mereka mendapat perlindungan dari bangsawan yang mempekerjakannya. Kesulitan yang diderita oleh seorang budak diselesaikan oleh tuannya. Dalam perkembangannya muncul kepatuhan yang sangat tinggi kepada tuannya. Budak memerlukan tuannya demikian pula sebaliknya. Hubungan timbal balik ini akhirnya menyatu dalam satu ikatan batin sehingga siri seorang budak menjadi siri pula pada tuannya.
Pengikut tidak saja diperoleh dengan sukarela, tetapi juga diperoleh setelah terjadi perang. Pihak yang kalah akan dijadikan budak dan mereka ini akan dipekerjakan pada bangsawan. Sebagai contoh adalah perang yang terjadi pada tahun 1643-1644. Perang yang terjadi antara Kerajaan Bone dan Gowa pada waktu itu dimenangkan oleh Gowa. Banyak orang Bone dan Soppeng ketika itu ditangkap dan dijadikan budak di Kerajaan Gowa.
Gengsi seorang bangsawan terletak juga pada berapa banyak budak yang dimiliki. Makin banyak budak yang dimiliki makin tinggi pula gengsi seorang bangsawan. Budak dapat saja disuruh untuk melakukan apa saja asalkan hidup dan kehidupannya dijamin oleh tuannya. Keadaan yang demikian ini membuat kelompok bangsawan harus pula memiliki sumber-sumber kekuasaan untuk menghidupi budaknya.
Mitos di Sekitar Bangsawan
Kepatuhan pada kelompok bangsawan dibangun, tidak saja lewat tulisan tetapi juga lewat cerita-cerita rakyat di masa lalu. Kondisi sosial, politik, dan kepercayaan masyarakat di masa lalu sangat menopang keberadaan para bangsawan sehingga kehadirannya menjadi sesuatu yang diharapkan kalau tidak bisa kita katakan dibutuhkan. Mitos kehadiran Tomanurung misalnya, terus menerus dipertahankan. Perjanjian antara Tomanurung dan 7 orang penguasa lokal tetap dipertahankan. Perjanjian ini dikumandangkan setiap kali pengangkatan seorang raja yang baru.
Lewat cerita-cerita rakyat, cerita Tomanurung diubahsuaikan sedemikian rupa sehingga tampak bahwa Tomanurung dan keturunannya adalah mereka yang layak untuk berkuasa. Cerita Tomanurung ini diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di kalangan istana ditanamkan petua dan bagaimana yang seharusnya seorang keturunan bangsawan Tomanurung dalam memerintah.
Mitos Tomanurung juga disebarkan keluar melalui media sastra yang disebut massurek.[14] Cerita tentang Tomanurung dan segala kelebihannya dioleh sedemikian rupa oleh para passurek, sehingga ceritanya menjadi mengasyikkan dan membuat betah bagi mereka yang mendengarnya. Lewat media ini Tomanurung dan keturunannya dianggap orang yang pantas memerintah. Masyarakat percaya bahwa yang berhak berkuasa adalah mereka yang berasal dari kalangan bangsawan. Mereka dianggap dapat memberi kesejahteraan dan keamanan bagi masyarakat.
Demokrasi di Kabupaten Bone
Pengaruh besar yang dimiliki oleh kelompok bangsawan, baik yang didapatkan dari kepercayaan masyarakat terhadap sosok bangsawan, maupun karena peran ekonomi yang dimainkan, secara tidak langsung membuat nilai-nilai demokrasi tidak berjalan dengan baik. Masyarakat tidak memiliki daya untuk bersikap kritis dalam melihat banyak persoalan yang ada. Mereka mengikuti apa yang dikatakan oleh kelompok bangsawan atau patron mereka yang dalam banyak hal telah memberi ketenangan hidup karena kepemilikan modal yang banyak. Para pengikut (client) yang mengetahui bahwa patronnya ikut dalam pemilihan, baik itu pemilihan kepala desa maupun bupati atau apa saja yang melibatkan patronnya, akan melakukan apa saja untuk memenangkan patronnya. Keadaan yang demikian ini membuat sistem demokrasi berjalan tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar demokrasi.
Ikatan keluarga yang dibangun lewat perkawinan telah memunculkan kerabat semakin meluas. Kecenderungan perkawinan sepupu satu kali, dua kali, dan tiga kali, di kalangan bangsawan tidak saja memperluas kerabatnya tetapi juga secara kuantitas jumlahnya semakin banyak. Oleh karena itu ada desa di Bone yang dapat dikatakan bahwa penduduknya bukan ‘orang lain’, hampir seluruhnya terdiri dari kerabat mereka. Ikatan keluarga yang dibangun lewat perkawinan yang semacam itu menjadikan mereka memiliki ikatan batin yang jauh lebih dalam dibandingkan dengan yang lainnya. Akhirnya, mereka lebih mementingkan kerabat dalam banyak hal dibandingkan orang lain. Pengangkatan seseorang dalam satu kedudukan tidak lagi didasarkan atas persaingan terbuka, tetapi menitikberatkan pada kedekatan (kerabat). Hal yang demikian ini tentu saja tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
Keterlibatan To massegek (orang perkasa) dalam percaturan politik telah juga menodai nilai-nilai demokrasi. Keberadaan To massegek ini pertama kali muncul ketika ditahun 1998 sekelompok mahasiswa dari Makassar datang ke Bone untuk menurunkan bupati Bone yang dianggap melakukan KKN. Kedatangan mereka dihadang oleh To massegek.
Dari sudut perilakunya, To massegek dapat dibagi atas dua. Ada yang termasuk berperilaku baik dan ada juga yang tidak baik. Kondisi politik yang kurang baik akan membuat munculnya To massegek. Mereka ini kemudian menguasai wilayah-wilayah tertentu, ada yang menguasai pelabuhan Bajoe, terminal, pusat-pusat pertokoan, dan lain sebagainya. Kelompok-kelompok ini banyak dimanfaatkan oleh mereka yang menginginkan kekuasaan sehingga terjadi terror, terutama menjelang pemilihan. Keadaan yang demikian ini tentu saja tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
Penutup
Jaringan kekerabatan yang demikian luas menyebar hampir di seluruh pelosok daerah Bone, menjadi modal besar bagi kalangan bangsawan untuk ikut bertarung dalam pemilihan kepala desa atau bupati. Para bangsawan telah berhasil memainkan ‘kayu tiga’ untuk mewujudkan ambisinya. Pemilihan dengan sistem satu orang satu suara telah menguntungkan kelompok bangsawan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika calon yang diusung menjadi bupati, baik yang diusung oleh partai politik maupun lewat jalur perorangan adalah mereka yang memiliki darah bangsawan.
Mitos Tomanurung ini telah memberi legitimasi yang sangat luar biasa pada kelompok bangsawan Bone sampai sekarang ini. Cerita kehadiran Tomanurung yang dapat menyelesaikan seluruh persoalan yang ada, dipercaya oleh masyarakat sebagai sesuatu yang benar. Kepercayaan itu menjadikan mereka yakin bahwa kelompok bangsawanlah yang harus memegang kekuasaan. Jika yang berkuasa bukan berasal dari kalangan bangsawan mereka yakini akan terjadi kekacauan.[15]
Daftar Pustaka
Abdur Razak Daeng Patunru, dkk., Sejarah Bone, Ujung Pandang: YKSS, 1995.
Andaya, Leonard Y., The Heritage of Arung Palakka A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century), VKI deel 90, Leiden: The Hague – Martinus Nijhoff, 1981.
Andi Massiara Daeng Rapi, Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan, Jakarta: Yayasan Bhinneka Tunggal Ika, 1988.
Andi Zainal Abidin Farid, Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi-Selatan, Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1999.
Mattulada, Latoa Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995.
Suriadi Mappangara, Kerajaan dan Bangsawan Bone di Tengah Perubahan Rezim 1811 -1946,Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2010.
Catatan Kaki
[1] Staf pengajar Jurusan Ilmu Sejarah, Universitas Hasanuddin, Makassar.
[2]Ke enam pasang calon tersebut adalah: 1. Andi Mustaman-Andi Sultan Pawi 2. Andi Irsan Idris Galigo-Andi Yuslim Patawari 3. Andi Taufan Tiro-Andi Promal Pawi 4. Andi Fahsar M Padjalangi-Ambo Dalle 5. Andi Mappamadeng Dewang-Andi Said Pabokori 6. Andi Mangunsidi Massarapi-Sumardi Sulaiman.
[3] Pada tahun 2008 pemilihan Kepalada Daerah di Kabupaten Bone diikuti oleh 4 pasangan calon. Keempat calon bupati itu semuanya dari kalangan bangsawan.
[4]Beliau adalah bupati yang ke 7 dan memerintah mulai tanggal 13 Juli 1977 – 22 Februari 1982. Beliau akhirnya mati dibunuh karena kasus perempuan.
[5] Dalam lontarak disebutkan berlangsung selama 7 pariaman. Tidak diketahui dengan pasti 1 pariaman berapa tahun lamanya.
[6] Kata To manurung berasal dari dua kata yaitu to yang berarti orang dan manurung yang berarti turun.
[7] Tujuh matowa. Mereka adalah anggota dewan yang bertugas memberi nasehat pada raja dalam berbagai hal.
[8] La Ummasa bersaudara sebanyak 6 orang. La Ummasa adalah anak kedua.
[9] Pada sumber lain menyebut satu hari.
[10] Pada waktu La Ummasa meluaskan wilayah pengaruh dan kekuasaannya dengan jalan perang, ada satu kerajaan yang tidak dapat ditaklukkan, yaitu Kerajaan Palakka. Perang antara keduanya berlangsung selama dua bulan. Untuk mengakhiri perang, La Ummasa menikahkan adik perempuannya dengan raja Palakka, La Pattikkeng Arung Palakka.
[11] Dalam catatan Lontarak diketahui bahwa ada tiga kerajaan besar di Sulawesi Selatan, yaitu Bone, Luwu dan Gowa. Ketika Islam pertama kali disiarkan di Sulawesi Selatan, ketiga penyebar agama Islam yaitu Dato Ri Bandang, Dato Pattimang, dan Dato masyarakat menyebarkan untuk pertama kalinya di Luwu, karena wilayah ini dianggap memiliki kewibawaan yang besar. Ketika ketiga dato itu memberi amanah kepada raja Luwu yang baru memeluk islam untuk bertanggung jawab dalam penyebaran Islam, raja Luwu meminta ketiga dato itu untuk ke Kerajaan Gowa karena Kerajaan Gowa memiliki kekuasaan yang besar.
[12] Ada yang menganggap bahwa stratifikasi sosial hanya ada dua.
[13]Pada awalnya Tomanurung ini tidak memiliki apa-apa yang ada hanyalah barang-barang yang dibawahnya berupa paying dan beberapa benda lainnya yang kelak dianggap sebagai benda kebesaran kerajaan. Tomanurung kemudian diberikan tanah untuk menghidupi istana. Tanah itu dikerjakan oleh rakyat, Tanah ini dikenal sebagai tanah arajang,
[14] Massurek dilakukan dalam bentuk nyanyian yang diiringi dengan alat musik. Isi nyanyian bervariasi, seperti misalnya tentang aktivitas pertania, perjodohan, perang, legendan dan mitos.
[15] Pada pemilihan Kepala Desa di Tobenteng pada awal tahun 2004,penduduk di salah satu kampung hanya bersedia ikut memilih jika calon Kepala Desa berasal dari kalangan bangsawan.
Sumber
Diangkat dari materi Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 di Yogyakarta.
Foto : Kas-Kus