Kuliner Bugis : Doa Sang Komandan Dapur
DARI dapur sempit, Murisna (64) mengendalikan pesta
keluarga bangsawan Bugis di Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan. Ia
memastikan hidangan tidak habis sebelum tamu terakhir tiba. Ia menjaga
kehormatan tuan rumah.
Dua hari sudah Hajah Murisna begadang. Ia harus memimpin kegiatan memasak untuk pesta perkawinan keluarga bangsawan Bugis beberapa waktu lalu di Pangkajene Kepulauan. Jauh hari sebelum acara tiba, Murisna sudah bekerja. Ia mengurus hidangan untuk acara pertemuan keluarga kedua mempelai. Semakin mendekati hari pernikahan semakin banyak pekerjaan. Seminggu sebelum acara pernikahan, misalnya, Murisna dan kaum perempuan kerabat penyelenggara membuat kue kering dan menyiapkan bumbu untuk lauk.
Sehari sebelum pesta, kesibukan Murisna memuncak. Pagi itu, Murisna menyiapkan 12 macam kue, antara lain, barongko, sikaporo, bolu kukus, cucuru, bingka, dan kaddo’ minyak. ”Penyelenggara pesta ini bangsawan. Kalau orang biasa, paling empat macam saja,” ujar Murisna, bas asal Palampang, Pangkajene.
Ia dibantu 15 ibu kerabat penyelenggara hajat. Semua proses memasak, mulai dari menghitung takaran bahan hingga mengolahnya menjadi kue, tak lepas dari pengawasannya. Ia benar-benar komandan dapur.
Orang seperti Murisna biasa disebut bas atau koordinator masak. Tugas utamanya menentukan menu, mengawasi proses memasak, dan mendistribusikan pekerjaan kepada ibu-ibu yang ikut membantu. Sering kali pendistribusian pekerjaan itu mempertimbangkan status sosial mereka. Susan Bolyard Millar dalam buku Perkawinan Bugis merinci, klasifikasi pekerjaan dibagikan berdasarkan status sosial.
Pendistribusian pekerjaan juga mempertimbangkan sejumlah tabu. Bas, misalnya, harus memastikan perempuan yang memasak kaddo’ minyak—semacam nasi ketan dengan potongan ayam—harus sudah menopause. ”Jika tidak, ada yang bilang, kaddo’ minyak tidak bisa matang,” ujar Murisna.
Seorang bas harus menjaga kamar tempat menyimpan makanan pesta. ”Bas yang mengatur masuk keluar makanan sampai pesta perkawinan selesai,” katanya.
Menjaga kehormatan
Guru Besar Universitas Hasanuddin Nurhayati Rahman menjelaskan, dalam sejumlah naskah kuno, rangkaian pesta pernikahan Bugis bisa berlangsung 40 hari. Sekarang pesta umumnya tiga sampai tujuh hari. Di situlah, simbol-simbol status dan prestise keluarga diperlihatkan. Oleh karena itu, di setiap pesta ada siri’ atau rasa bangga dan malu keluarga.
Sosok bas, lanjut Nurhayati, adalah penjaga siri’ terkait makanan. Dia harus memastikan makanan yang disajikan enak dan cukup. ”Kalau makanan habis sebelum pesta usai, penyelenggara pesta dan keluarga kehilangan siri’. Mereka akan malu sekali,” tutur Nurhayati.
Begitu besarnya tanggung jawab bas, tidak semua orang bisa jadi bas. Dulu, tambah filolog Ahmad Saransi, bas dianggap sakti. Dia bisa memastikan berapa pun jumlah tamu, makanan pasti cukup.
Semua itu bisa tercapai lewat laku spiritual. Bas dulu, tambah Saransi, melafalkan doa untuk mencukupkan dan melindungi makanan. Sebagian doa masakan—termasuk doa melezatkan makanan—tercatat di dalam naskah kuno. Salah satu potongan doa yang kami peroleh dari seorang angota keluarga bas di Pangkep berbunyi: ...sinru’ sinru’ sai naninsiru’, kaddo’ si kaddo’ kaddo’ tonji, ganna ta ganna sigannakki... (...sendok sendoklah saja dengan menyendok/makan saling menikmati makan makanan itu juga/cukup atau tidak cukup akan saling mencukupkan ...).
”Kalau sudah didoakan, masak 1 liter beras pun bisa cukup untuk seratus tamu,” kata Saransi.
Bagaimana bisa? Yahya, antropolog dari Unhas, mengatakan, doa dan mantra yang dipakai bas akan memengaruhi kemampuan orang makan. Makan sedikit mereka sudah kenyang. ”Jadi, doa-doa itu bukan melipatgandakan makanan.”
Doa masak, menurut Saransi, masih dipakai sampai sekarang. Namun, praktik itu selalu tersembunyi. ”Bas tidak akan bercerita tentang doa masak, bahkan doa pun dia lafalkan dalam hati agar orang lain tidak mendengar,” lanjut Yahya.
Bas Sada dan Murisna mengatakan, mereka tak menggunakan doa khusus untuk memasak makanan. ”Saya hanya mengucap bismillah dan kun faya kun, insya Allah makanan cukup,” ujar Sada.
Di luar itu, Sada punya hitungan matematis agar makanan cukup. Jika ada 1.000 undangan, ia memasak 1 sapi, 400 kue untuk tiap jenisnya. Kalau tamu 500 orang, ia masak 30 kilogram daging, 50 ayam, kue bolu 10 loyang, dan sebagainya.
Hitungan-hitungan Sada dan resep masakan kini ia turunkan kepada anaknya, Hartati, yang tiga tahun lalu mulai terjun menjadi bas. ”Kami memang keturunan bas. Saya mendapatkan keahlian sebagai bas dari ibu saya, Hajah Sada. Ibu saya dapat dari nenek, Lija. Tinggal kami saja yang jadi bas di kampung ini,” ujar Hartati yang ikhlas dibayar berapa pun untuk kerja berhari-hari di dapur.
Ya, merekalah bas yang masih tersisa di Maros. Penjaga siri’ banyak keluarga yang menggelar pesta. (Budi Suwarna dan Aswin Rizal Harahap)
Sumber : Naskah dan Foto diangkat dari Kompas 24 Oktober 2013
Dua hari sudah Hajah Murisna begadang. Ia harus memimpin kegiatan memasak untuk pesta perkawinan keluarga bangsawan Bugis beberapa waktu lalu di Pangkajene Kepulauan. Jauh hari sebelum acara tiba, Murisna sudah bekerja. Ia mengurus hidangan untuk acara pertemuan keluarga kedua mempelai. Semakin mendekati hari pernikahan semakin banyak pekerjaan. Seminggu sebelum acara pernikahan, misalnya, Murisna dan kaum perempuan kerabat penyelenggara membuat kue kering dan menyiapkan bumbu untuk lauk.
Sehari sebelum pesta, kesibukan Murisna memuncak. Pagi itu, Murisna menyiapkan 12 macam kue, antara lain, barongko, sikaporo, bolu kukus, cucuru, bingka, dan kaddo’ minyak. ”Penyelenggara pesta ini bangsawan. Kalau orang biasa, paling empat macam saja,” ujar Murisna, bas asal Palampang, Pangkajene.
Ia dibantu 15 ibu kerabat penyelenggara hajat. Semua proses memasak, mulai dari menghitung takaran bahan hingga mengolahnya menjadi kue, tak lepas dari pengawasannya. Ia benar-benar komandan dapur.
Orang seperti Murisna biasa disebut bas atau koordinator masak. Tugas utamanya menentukan menu, mengawasi proses memasak, dan mendistribusikan pekerjaan kepada ibu-ibu yang ikut membantu. Sering kali pendistribusian pekerjaan itu mempertimbangkan status sosial mereka. Susan Bolyard Millar dalam buku Perkawinan Bugis merinci, klasifikasi pekerjaan dibagikan berdasarkan status sosial.
Pendistribusian pekerjaan juga mempertimbangkan sejumlah tabu. Bas, misalnya, harus memastikan perempuan yang memasak kaddo’ minyak—semacam nasi ketan dengan potongan ayam—harus sudah menopause. ”Jika tidak, ada yang bilang, kaddo’ minyak tidak bisa matang,” ujar Murisna.
Seorang bas harus menjaga kamar tempat menyimpan makanan pesta. ”Bas yang mengatur masuk keluar makanan sampai pesta perkawinan selesai,” katanya.
Menjaga kehormatan
Guru Besar Universitas Hasanuddin Nurhayati Rahman menjelaskan, dalam sejumlah naskah kuno, rangkaian pesta pernikahan Bugis bisa berlangsung 40 hari. Sekarang pesta umumnya tiga sampai tujuh hari. Di situlah, simbol-simbol status dan prestise keluarga diperlihatkan. Oleh karena itu, di setiap pesta ada siri’ atau rasa bangga dan malu keluarga.
Sosok bas, lanjut Nurhayati, adalah penjaga siri’ terkait makanan. Dia harus memastikan makanan yang disajikan enak dan cukup. ”Kalau makanan habis sebelum pesta usai, penyelenggara pesta dan keluarga kehilangan siri’. Mereka akan malu sekali,” tutur Nurhayati.
Begitu besarnya tanggung jawab bas, tidak semua orang bisa jadi bas. Dulu, tambah filolog Ahmad Saransi, bas dianggap sakti. Dia bisa memastikan berapa pun jumlah tamu, makanan pasti cukup.
Semua itu bisa tercapai lewat laku spiritual. Bas dulu, tambah Saransi, melafalkan doa untuk mencukupkan dan melindungi makanan. Sebagian doa masakan—termasuk doa melezatkan makanan—tercatat di dalam naskah kuno. Salah satu potongan doa yang kami peroleh dari seorang angota keluarga bas di Pangkep berbunyi: ...sinru’ sinru’ sai naninsiru’, kaddo’ si kaddo’ kaddo’ tonji, ganna ta ganna sigannakki... (...sendok sendoklah saja dengan menyendok/makan saling menikmati makan makanan itu juga/cukup atau tidak cukup akan saling mencukupkan ...).
”Kalau sudah didoakan, masak 1 liter beras pun bisa cukup untuk seratus tamu,” kata Saransi.
Bagaimana bisa? Yahya, antropolog dari Unhas, mengatakan, doa dan mantra yang dipakai bas akan memengaruhi kemampuan orang makan. Makan sedikit mereka sudah kenyang. ”Jadi, doa-doa itu bukan melipatgandakan makanan.”
Doa masak, menurut Saransi, masih dipakai sampai sekarang. Namun, praktik itu selalu tersembunyi. ”Bas tidak akan bercerita tentang doa masak, bahkan doa pun dia lafalkan dalam hati agar orang lain tidak mendengar,” lanjut Yahya.
Bas Sada dan Murisna mengatakan, mereka tak menggunakan doa khusus untuk memasak makanan. ”Saya hanya mengucap bismillah dan kun faya kun, insya Allah makanan cukup,” ujar Sada.
Di luar itu, Sada punya hitungan matematis agar makanan cukup. Jika ada 1.000 undangan, ia memasak 1 sapi, 400 kue untuk tiap jenisnya. Kalau tamu 500 orang, ia masak 30 kilogram daging, 50 ayam, kue bolu 10 loyang, dan sebagainya.
Hitungan-hitungan Sada dan resep masakan kini ia turunkan kepada anaknya, Hartati, yang tiga tahun lalu mulai terjun menjadi bas. ”Kami memang keturunan bas. Saya mendapatkan keahlian sebagai bas dari ibu saya, Hajah Sada. Ibu saya dapat dari nenek, Lija. Tinggal kami saja yang jadi bas di kampung ini,” ujar Hartati yang ikhlas dibayar berapa pun untuk kerja berhari-hari di dapur.
Ya, merekalah bas yang masih tersisa di Maros. Penjaga siri’ banyak keluarga yang menggelar pesta. (Budi Suwarna dan Aswin Rizal Harahap)
Sumber : Naskah dan Foto diangkat dari Kompas 24 Oktober 2013