Mengenal Identitas Makassar; Interaksi dan Hubungan Sosial Orang Makassar (bagian 5)
A. Patron & Klien, hubungan orang Makassar dengan Pemimpinnya
Salah satu unsur budaya lokal yang juga merupakan bagian dari sistem kemasyarakatan Makassar, adalah nilai-nilai kekerabatan yang melekat pada masyarakat setempat. Nilai-nilai kekerabatan ini dapat dilihat pada empat aspek diantaranya: (Pelras, 2006: 175)[1]. Pertama, perkawinan. Bagi masyarakat Makassar, perkawinan berarti siala (saling mengambil satu sama lain). Sebuah upacara penyatuan dua keluarga yang biasanya telah memiliki hubungan sebelumnya dengan maksud makin mempererat (ma’pasideppe’ mabelae, yang berarti mendekatkan yang sudah jauh).
Kedua, stratifikasi sosial/hierarki sosial. Mengacu pada bentuk kekerabatan yang lahir dari perkawinan. Berbeda dengan aspek pertama, aspek ini lebih menekankan pada hasil perkawinan beda darah. Berdasarkan La Galigo dan mitos tentang nenek moyang, masyarakat Makassar hanya mengenal dua jenis manusia, yakni mereka yang “berdarah putih” (keturunan dewata) dan mereka yang “berdarah merah” mewakili golongan orang biasa dan rakya jelata. Dalam konteks percaturan politik saat ini, banyak politisi yang menikahi golongan bangsawan atau rakyat biasa, dengan pertimbangan, orang tersebut memiliki pengaruh dan jaringan kekerabatan yang luas. Yang nantinya dapat dimanfaatkan pada saat pemilihan kepala daerah.
Ketiga, kekuasaan yakni hubungan patron-klien. Jenis hubungan ini menunjuk pada keterikatan antara dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, dimana seseorang yang lebih tinggi keudukan sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan atau kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (klien), yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan memberikan dukungan yang umum dan bantuan, termasuk jasa-jasa pribadi, kepada patron (Scott dalam Ahimsa, 2007: 4)[2] .
Definisi tersebut, mengisyaratkan adanya hak dan kewajiban yang mendasari kuatnya hubungan antara seorang pemimpin (patron) dan pengikut (klien). Pernyataan masyarakat sebagai klien terhadap seorang patron, berarti pengakuan akan sebuah pengabdian yang tinggi terhadap patronnya. Pengabdian yang tinggi ini dimaknai sebagai bentuk kerelaan para klien untuk melakukan berbagai hal termasuk dintaranya pergi ke medan perang, atau untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Sebaliknya, seorang pemimpin akan memberikan perlindungan keamanan terhadap para pengikutnya, termasuk menjamin kesejahteraan pengikutnya dengan menyediakan lahan, ternak atau alat dan komoditas lain yang dubutuhkan. Terkait dengan tingginya tanggung jawab yang diemban oleh seorang patron, dicontohkan bahwa bila sapi atau kuda seorang pengikut dicuri, tuannya akan berusaha menemukan kembali ternak itu dan menghukum pencurinya (Pelras, 2006: 204). [3]
Dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, hubungan kekerabatan ini merupakan aspek utama. Selain karena dinilai penting oleh anggotanya, juga karna fungsinya sebagai struktur yang mendasari berbagai aspek kehidupan masyarakat Makassar, yang saling berkaitan dalam membentuk suatu tatanan sosial. Selain itu, hal yang juga tak kalah pentingnya dari hubungan kekerabatan ini adalah tercapainya derajat yang tinggi dalam sistem stratifikasi sosial.
Dalam interaksinya antara patron dan klien muncullah ekspresi kekerabatan yang melahirkan nilai-nilai kemanusiaan yang tumbuh dan berkembang dalam diri tiap individu. Nilai-nilai tersebut adalah Sipakatau (saling menghargai), Sipakalebbi (saling menghormati), Sipakainge (saling mengingatkan). Ketiga istilah ini mengandung makna filosofi yang sangat dalam dan dijadikan sebagai landasan dalam menentukan pola hubungan bermasyarakat. Dari filosopi inilah muncul tolak ukur, kaidah, norma dan etika, sehingga masing-masing individu bisa menakar, apakah kelakukan dan ucapannya bernilai etis dan tidak etis. Apakah ia masih menjunjung tinggi kekerabatan yang dimilikinya.
Perbuatan tidak etis adalah bentuk pengingkaran terhadap kekerabatan yang dimiliki seseorang. Dalam khasanah budaya masyarakat Makassar, pengingkaran seperti ini adalah aib, dan merupakan bentuk pelanggaran adat. Pada pelaku akan dikenakan sangsi adat berupa ipaoppangi tana (raganya ditimbun tanah) yang berarti pula, kehadirannya sudah tidak diinginkan, bahkan raganya dianggap telah tiada/mati. Peristiwa semacam ini, dapat dilihat dalam kasus Andi Mallarangeng yang lewat komentarnya pada pilpres 2009 lalu. Akibat komentarnya tersebut, kalangan adat Sul-Sel (baca: Makassar), mengharamkannya untuk menginjakkan kakinya di Sul-Sel, bahkan ada yang menghalalkan darahnya.
Sipakatau memiliki makna adanya sikap saling memanusiakan antara satu dengan yang lain. Pada prakteknya, sikap ini tercermin dari adanya sikap saling mengakui segala hak-hak yang dimiliki seseorang, tanpa memandang status sosial, kondisi fisik, dan lain sebagainya. Masih serumpun dengan nilai Sipakatau, istilah Sipakalebbi adalah nilai kedua yang mengusung sikap hormat terhadap sesama. Nilai ini mengajarkan untuk senantiasa memperlakukan orang lain dengan baik dan memandang orang dengan segala kelebihannya. Melalui nilai ini, maka seseorang tidak akan mencemoh orang lain karna suatu kekurangan yang dimilikinya, bahkan cenderung saling menjaga harga diri, begitupula dengan harkat dan martabat, dalam lingkungan sosial.
Selanjutnya, sebagai bentuk kepedulian sekaligus wujud upaya yang menunjukkan konsistensi dalam mengusung kedua nilai tersebut, masyarakat Makassar juga mengenal istilah Sipakainge. Sadar bahwa manusia adalah indvidu yang tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan, maka nilai sipakainge hadir menjadi tuntunan bagi masyarakat bersangkutan untuk saling mengingatkan. Keberadaan nilai ini tidak menghendaki masyarakat dihinggapi sikap acuh ketika mendapati saudaranya di “persimpangan jalan”. Tiga sifat tersebut, sipakatau, sipakalebbi, dan sipakainge menjadi nilai-nilai dasar dalam tata hubungan masyarakat Makassar.
Hingga kini, nilai-nilai tersebut masih terus tumbuh dan dijaga oleh penganutnya, tapi juga tidak lepas dari pengaruh perkembangan lingkungan sosial utamanya karena tumbuhnya komersialisasi dan perkembangan pasar yang menyebabakan ketidakpastian perekonomian yang dibawa oleh pemerintah kolonial. Meskipun demikian, beberapa tulisan dan penelitian menyebutkan bahwa nilai-nilai kekerabatan itu masih kuat di kalangan masyarakat Makassar. [4] Selanjutnya, pada uraian di bawah ini akan dikemukakan bagaimana nilai-nilai kekerabatan tersebut di representasikan dalam situs panyingkul.
B. Dengan orang lain / Asing
Makassar sejak abad XIII adalah kota dan masyarakat yang terbuka dengan orang-orang dan budaya dari luar. Serupa dengan kota Yogyakarta saat, Makassar adalah kota yang multikultur. Ia bisa dilacak dengan komunitas-komunitas yang bermukim didalamnya. Ada banyak pendatang yang bermukim dan menetap di Makassar sejak abad XIII hingga saat ini.
Sebuah penelitian arkeologi juga berhasil menemukan sebuah situs makam keturunan Turki yang sudah ada sejak abad XIII. Hal ini mungkin terjadi, karena pada saat itu Makassar adalah kota Bandar teramai dan maju yang menghubungkan kota-kota lain penghasil rempah-rempah di nusantara. Itulah sebabnya, di masa itu, kota ini dicetak sebagai lokasi yang terbuka bagi semua kelompok (Reid, 2011)[5]. Tak heran, jika di Bontoala saat itu, bermukim berbagai etnis pendatang seperti Bugis, Jawa, Arab, Cina, India, dan Eropa. Bahkan pada abad XVII, Makkassar dengan sangat terbuka memberikan ruang kepada beberapa etnis pendatang seperti Melayu, Cina, Ambon, Belanda, Bugis, Jawa, dan Makassar untuk membangun koloni dan perkampungan sendiri di sekitar benteng Rotterdam. [6]
C. Terhadap anak dan keluarga
Konsep sianang maranak (bentuk dan istilah dalam hubungan kekerabatan), konsep mana (hak waris), konsep taro tudangeng (strata dan etiket sosial), juga merupakan unsur budaya Bugis-Makassar dalam sistem kemasyarakatannya. Belum lagi konsep bati. Bati (Bugis), Bija (Makassar) secara harfiah berarti perilaku yang bernilai agung dan diwarisi seseorang dari leluhurnya. Kata abbatireng berarti seseorang yang memiliki pribadi atau kepribadian yang agung dan diwarisi dari leluhurnya paling tidak dari ayah atau eyangnya. Sebuah konsep adat sebagai patokan dalam menilai seseorang berdasarkan garis keturunannya. Seorang anak yang berkepribadian baik oleh masyarakat akan disanjung dengan perkataan “appang makessing memengsa ampena” (ia memang dari keturunan yang berkepribadian baik). Sebaliknya jika ia berkepribadian buruk maka ia akan dicerca dengan ungkapan “de’mana napubatiwi ambo’na” (sayang ia tidak menuruni sifat ayahnya). Begitupun jika ia berkepridian buruk dan juga berasal dari keturunan yang berkpribadian buruk, maka ia dan leluhurnya akan dicerca pula.
Dalam hubungan rumah tangga, antara suami dan istri memiliki kesetaraan. Sepasang suami istri tidak hanya bersama dalam hubungan biologis semata, lebih dari itu dalam urusan ekonomi rumah tangga mereka mengenal konsep “siola refo”. Dimana seorang istri selain mendapatkan haknya dalam pemenuhan ekonomi, ia juga berkewajiban membantu sang suami, minimal dengan ia menjadi penenun kain/sarung sutera untuk selanjutnya dijual. Dahulu, kecakapan menenun adalah syarat mutlah bagi seorang perempuan untuk dikatakan siap menikah.
D. Dalam lingkungan sendiri
Seperti telah diuraikan pada bagian awal bab ini, pacce adalah semangat dasar masyarakat Makassar dalam berhubungan dengan orang-orang sekitarnya. Dalam balutan pacce ini terdapat nilai-nilai solidaritas, toleransi, saling menghargai dan menghormati. Esensi pacce itu akan sangat jelas terlihat pada beberapa acara dan pesta adat. Pada acara memindahkan rumah misalnya, tidak kurang 200 orang akan berdatangan untuk urun tenaga memanggul rumah panggung sang empunya hajat. Tak perlu diundang, cukup berita dari mulut ke mulut mereka dipastikan akan datang. Tak ada upah yang harus disediakan empunya hajat. Cukuplah jajanan ringan seperti es pisang ijo atau pallubutung, sebagai pelepas dahaga.
_________________________________
[1] Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Nalar: Jakarta
[2]
[3] Christian Pelras, 2006, Manusia Bugis, Penerbit Nalar, Jakarta.
[4] Beberapa tulisan dan penelitian yang merujuk pada kesimpulan ini, diantaranya bahwa hingga pertengahan abad 20, pola tempat tinggal masyarakat Bugis-Makassar yang berupa rumah panggung, dihuni bukan saja oleh keluarga batih melainkan beberapa kerabat lainnya.
[5] Reid dalam Chamber Loir, Henri (ed). 2011. Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
[6] Dias Pradadimara dkk (ed.), 2004, Kontiunitas dan Perubahan Dalam Sejarah Sulawesi Selatan, Penerbit Ombak, Yogyakarta.
====================================
Salah satu unsur budaya lokal yang juga merupakan bagian dari sistem kemasyarakatan Makassar, adalah nilai-nilai kekerabatan yang melekat pada masyarakat setempat. Nilai-nilai kekerabatan ini dapat dilihat pada empat aspek diantaranya: (Pelras, 2006: 175)[1]. Pertama, perkawinan. Bagi masyarakat Makassar, perkawinan berarti siala (saling mengambil satu sama lain). Sebuah upacara penyatuan dua keluarga yang biasanya telah memiliki hubungan sebelumnya dengan maksud makin mempererat (ma’pasideppe’ mabelae, yang berarti mendekatkan yang sudah jauh).
Kedua, stratifikasi sosial/hierarki sosial. Mengacu pada bentuk kekerabatan yang lahir dari perkawinan. Berbeda dengan aspek pertama, aspek ini lebih menekankan pada hasil perkawinan beda darah. Berdasarkan La Galigo dan mitos tentang nenek moyang, masyarakat Makassar hanya mengenal dua jenis manusia, yakni mereka yang “berdarah putih” (keturunan dewata) dan mereka yang “berdarah merah” mewakili golongan orang biasa dan rakya jelata. Dalam konteks percaturan politik saat ini, banyak politisi yang menikahi golongan bangsawan atau rakyat biasa, dengan pertimbangan, orang tersebut memiliki pengaruh dan jaringan kekerabatan yang luas. Yang nantinya dapat dimanfaatkan pada saat pemilihan kepala daerah.
Ketiga, kekuasaan yakni hubungan patron-klien. Jenis hubungan ini menunjuk pada keterikatan antara dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, dimana seseorang yang lebih tinggi keudukan sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan atau kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (klien), yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan memberikan dukungan yang umum dan bantuan, termasuk jasa-jasa pribadi, kepada patron (Scott dalam Ahimsa, 2007: 4)[2] .
Definisi tersebut, mengisyaratkan adanya hak dan kewajiban yang mendasari kuatnya hubungan antara seorang pemimpin (patron) dan pengikut (klien). Pernyataan masyarakat sebagai klien terhadap seorang patron, berarti pengakuan akan sebuah pengabdian yang tinggi terhadap patronnya. Pengabdian yang tinggi ini dimaknai sebagai bentuk kerelaan para klien untuk melakukan berbagai hal termasuk dintaranya pergi ke medan perang, atau untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Sebaliknya, seorang pemimpin akan memberikan perlindungan keamanan terhadap para pengikutnya, termasuk menjamin kesejahteraan pengikutnya dengan menyediakan lahan, ternak atau alat dan komoditas lain yang dubutuhkan. Terkait dengan tingginya tanggung jawab yang diemban oleh seorang patron, dicontohkan bahwa bila sapi atau kuda seorang pengikut dicuri, tuannya akan berusaha menemukan kembali ternak itu dan menghukum pencurinya (Pelras, 2006: 204). [3]
Dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, hubungan kekerabatan ini merupakan aspek utama. Selain karena dinilai penting oleh anggotanya, juga karna fungsinya sebagai struktur yang mendasari berbagai aspek kehidupan masyarakat Makassar, yang saling berkaitan dalam membentuk suatu tatanan sosial. Selain itu, hal yang juga tak kalah pentingnya dari hubungan kekerabatan ini adalah tercapainya derajat yang tinggi dalam sistem stratifikasi sosial.
Dalam interaksinya antara patron dan klien muncullah ekspresi kekerabatan yang melahirkan nilai-nilai kemanusiaan yang tumbuh dan berkembang dalam diri tiap individu. Nilai-nilai tersebut adalah Sipakatau (saling menghargai), Sipakalebbi (saling menghormati), Sipakainge (saling mengingatkan). Ketiga istilah ini mengandung makna filosofi yang sangat dalam dan dijadikan sebagai landasan dalam menentukan pola hubungan bermasyarakat. Dari filosopi inilah muncul tolak ukur, kaidah, norma dan etika, sehingga masing-masing individu bisa menakar, apakah kelakukan dan ucapannya bernilai etis dan tidak etis. Apakah ia masih menjunjung tinggi kekerabatan yang dimilikinya.
Perbuatan tidak etis adalah bentuk pengingkaran terhadap kekerabatan yang dimiliki seseorang. Dalam khasanah budaya masyarakat Makassar, pengingkaran seperti ini adalah aib, dan merupakan bentuk pelanggaran adat. Pada pelaku akan dikenakan sangsi adat berupa ipaoppangi tana (raganya ditimbun tanah) yang berarti pula, kehadirannya sudah tidak diinginkan, bahkan raganya dianggap telah tiada/mati. Peristiwa semacam ini, dapat dilihat dalam kasus Andi Mallarangeng yang lewat komentarnya pada pilpres 2009 lalu. Akibat komentarnya tersebut, kalangan adat Sul-Sel (baca: Makassar), mengharamkannya untuk menginjakkan kakinya di Sul-Sel, bahkan ada yang menghalalkan darahnya.
Sipakatau memiliki makna adanya sikap saling memanusiakan antara satu dengan yang lain. Pada prakteknya, sikap ini tercermin dari adanya sikap saling mengakui segala hak-hak yang dimiliki seseorang, tanpa memandang status sosial, kondisi fisik, dan lain sebagainya. Masih serumpun dengan nilai Sipakatau, istilah Sipakalebbi adalah nilai kedua yang mengusung sikap hormat terhadap sesama. Nilai ini mengajarkan untuk senantiasa memperlakukan orang lain dengan baik dan memandang orang dengan segala kelebihannya. Melalui nilai ini, maka seseorang tidak akan mencemoh orang lain karna suatu kekurangan yang dimilikinya, bahkan cenderung saling menjaga harga diri, begitupula dengan harkat dan martabat, dalam lingkungan sosial.
Selanjutnya, sebagai bentuk kepedulian sekaligus wujud upaya yang menunjukkan konsistensi dalam mengusung kedua nilai tersebut, masyarakat Makassar juga mengenal istilah Sipakainge. Sadar bahwa manusia adalah indvidu yang tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan, maka nilai sipakainge hadir menjadi tuntunan bagi masyarakat bersangkutan untuk saling mengingatkan. Keberadaan nilai ini tidak menghendaki masyarakat dihinggapi sikap acuh ketika mendapati saudaranya di “persimpangan jalan”. Tiga sifat tersebut, sipakatau, sipakalebbi, dan sipakainge menjadi nilai-nilai dasar dalam tata hubungan masyarakat Makassar.
Hingga kini, nilai-nilai tersebut masih terus tumbuh dan dijaga oleh penganutnya, tapi juga tidak lepas dari pengaruh perkembangan lingkungan sosial utamanya karena tumbuhnya komersialisasi dan perkembangan pasar yang menyebabakan ketidakpastian perekonomian yang dibawa oleh pemerintah kolonial. Meskipun demikian, beberapa tulisan dan penelitian menyebutkan bahwa nilai-nilai kekerabatan itu masih kuat di kalangan masyarakat Makassar. [4] Selanjutnya, pada uraian di bawah ini akan dikemukakan bagaimana nilai-nilai kekerabatan tersebut di representasikan dalam situs panyingkul.
B. Dengan orang lain / Asing
Makassar sejak abad XIII adalah kota dan masyarakat yang terbuka dengan orang-orang dan budaya dari luar. Serupa dengan kota Yogyakarta saat, Makassar adalah kota yang multikultur. Ia bisa dilacak dengan komunitas-komunitas yang bermukim didalamnya. Ada banyak pendatang yang bermukim dan menetap di Makassar sejak abad XIII hingga saat ini.
Sebuah penelitian arkeologi juga berhasil menemukan sebuah situs makam keturunan Turki yang sudah ada sejak abad XIII. Hal ini mungkin terjadi, karena pada saat itu Makassar adalah kota Bandar teramai dan maju yang menghubungkan kota-kota lain penghasil rempah-rempah di nusantara. Itulah sebabnya, di masa itu, kota ini dicetak sebagai lokasi yang terbuka bagi semua kelompok (Reid, 2011)[5]. Tak heran, jika di Bontoala saat itu, bermukim berbagai etnis pendatang seperti Bugis, Jawa, Arab, Cina, India, dan Eropa. Bahkan pada abad XVII, Makkassar dengan sangat terbuka memberikan ruang kepada beberapa etnis pendatang seperti Melayu, Cina, Ambon, Belanda, Bugis, Jawa, dan Makassar untuk membangun koloni dan perkampungan sendiri di sekitar benteng Rotterdam. [6]
C. Terhadap anak dan keluarga
Konsep sianang maranak (bentuk dan istilah dalam hubungan kekerabatan), konsep mana (hak waris), konsep taro tudangeng (strata dan etiket sosial), juga merupakan unsur budaya Bugis-Makassar dalam sistem kemasyarakatannya. Belum lagi konsep bati. Bati (Bugis), Bija (Makassar) secara harfiah berarti perilaku yang bernilai agung dan diwarisi seseorang dari leluhurnya. Kata abbatireng berarti seseorang yang memiliki pribadi atau kepribadian yang agung dan diwarisi dari leluhurnya paling tidak dari ayah atau eyangnya. Sebuah konsep adat sebagai patokan dalam menilai seseorang berdasarkan garis keturunannya. Seorang anak yang berkepribadian baik oleh masyarakat akan disanjung dengan perkataan “appang makessing memengsa ampena” (ia memang dari keturunan yang berkepribadian baik). Sebaliknya jika ia berkepribadian buruk maka ia akan dicerca dengan ungkapan “de’mana napubatiwi ambo’na” (sayang ia tidak menuruni sifat ayahnya). Begitupun jika ia berkepridian buruk dan juga berasal dari keturunan yang berkpribadian buruk, maka ia dan leluhurnya akan dicerca pula.
Dalam hubungan rumah tangga, antara suami dan istri memiliki kesetaraan. Sepasang suami istri tidak hanya bersama dalam hubungan biologis semata, lebih dari itu dalam urusan ekonomi rumah tangga mereka mengenal konsep “siola refo”. Dimana seorang istri selain mendapatkan haknya dalam pemenuhan ekonomi, ia juga berkewajiban membantu sang suami, minimal dengan ia menjadi penenun kain/sarung sutera untuk selanjutnya dijual. Dahulu, kecakapan menenun adalah syarat mutlah bagi seorang perempuan untuk dikatakan siap menikah.
D. Dalam lingkungan sendiri
Seperti telah diuraikan pada bagian awal bab ini, pacce adalah semangat dasar masyarakat Makassar dalam berhubungan dengan orang-orang sekitarnya. Dalam balutan pacce ini terdapat nilai-nilai solidaritas, toleransi, saling menghargai dan menghormati. Esensi pacce itu akan sangat jelas terlihat pada beberapa acara dan pesta adat. Pada acara memindahkan rumah misalnya, tidak kurang 200 orang akan berdatangan untuk urun tenaga memanggul rumah panggung sang empunya hajat. Tak perlu diundang, cukup berita dari mulut ke mulut mereka dipastikan akan datang. Tak ada upah yang harus disediakan empunya hajat. Cukuplah jajanan ringan seperti es pisang ijo atau pallubutung, sebagai pelepas dahaga.
_________________________________
[1] Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Nalar: Jakarta
[2]
[3] Christian Pelras, 2006, Manusia Bugis, Penerbit Nalar, Jakarta.
[4] Beberapa tulisan dan penelitian yang merujuk pada kesimpulan ini, diantaranya bahwa hingga pertengahan abad 20, pola tempat tinggal masyarakat Bugis-Makassar yang berupa rumah panggung, dihuni bukan saja oleh keluarga batih melainkan beberapa kerabat lainnya.
[5] Reid dalam Chamber Loir, Henri (ed). 2011. Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
[6] Dias Pradadimara dkk (ed.), 2004, Kontiunitas dan Perubahan Dalam Sejarah Sulawesi Selatan, Penerbit Ombak, Yogyakarta.
====================================
Post a Comment for "Mengenal Identitas Makassar; Interaksi dan Hubungan Sosial Orang Makassar (bagian 5)"