Anak Merawat Orang Tua, Bakti yang Tak Terukur
Kisah nyata seorang dokter...
Suatu hari, masuklah seorang wanita lanjut usia ke ruang praktek saya di sebuah Rumah Sakit.
Wanita itu ditemani seorang pemuda yg usianya sekitar 30 tahun.
Saya perhatikan pemuda itu memberikan perhatian yg lebih kpd wanita tersebut dg memegang tangannya, memperbaiki pakaiannya, dan memberikan makanan serta minuman padanya…
Setelah saya menanyainya seputar masalah kesehatan dan memintanya utk diperiksa, saya bertanya pada pemuda itu tentang kondisi akalnya, karena saya dapati bhw perilaku dan jawaban wanita tersebut tak sesuai dg pertanyaan yg ku ajukan (ga nyambung).
Pemuda itu menjawab :
“Dia ibuku, dan memiliki keterbelakangan mental sejak aku lahir”
Keingintahuanku mendorongku utk bertanya lagi : “Siapa yg merawatnya?”
Ia menjawab : “Aku”
Aku bertanya lagi : “Lalu siapa yg memandikan dan mencuci pakaiannya?”
Ia menjawab : “Aku suruh ia masuk ke kamar mandi dan membawakan baju untuknya serta menantinya hingga ia selesai.
Aku yg melipat dan menyusun bajunya di lemari.
Aku masukkan pakaiannya yg kotor ke dalam mesin cuci dan membelikannya pakaian yg dibutuhkannya”
Aku bertanya : “Mengapa engkau tak mencarikan untuknya pembantu?”
Ia menjawab : “Karena ibuku tidak bisa melakukan apa2 dan seperti anak kecil, aku khawatir pembantu tak memperhatikannya dg baik dan tak dapat memahaminya, sementara aku sangat paham dg ibuku”
Aku terperangah dg jawabannya dan baktinya yg begitu besar..
Aku pun bertanya : “Apakah engkau sdh beristri?”
Ia menjawab : “Alhamdulillah, aku sdh beristri dan punya beberapa anak”
Aku berkomentar : “Kalau begitu berarti istrimu juga ikut merawat ibumu?”
Ia menjawab : “Istriku membantu semampunya, dia yg memasak dan menyuguhkannya kpd ibuku.
Aku telah mendatangkan pembantu utk istriku agar dapat membantu pekerjaannya.
Akan tetapi aku berusaha selalu utk makan bersama ibuku supaya dapat mengontrol kadar gulanya”
Aku Tanya : “Memangnya ibumu juga terkena penyakit Gula?”
Ia menjawab : “Ya, (tapi tetap saja) Alhamdulillah atas segalanya”
Aku semakin takjub dg pemuda ini dan aku berusaha menahan air mataku…
Aku mencuri pandang pada kuku tangan wanita itu, dan aku dapati kukunya pendek dan bersih.
Aku bertanya lagi : “Siapa yg memotong kukunya?”
Ia menjawab : “Aku. Dokter, ibuku tak dapat melakukan apa2”
Tiba2 sang ibu memandang putranya dan bertanya seperti anak kecil : “Kapan engkau akan membelikan untukku kentang?”
Ia menjawab : “Tenanglah ibu, sebentar kita akan pergi ke kedai”
Ibunya meloncat-loncat karena kegirangan dan berkata : “Sekarang…sekarang!”
Pemuda itu menoleh kepadaku dan berkata : “Demi Allah, kebahagiaanku melihat ibuku gembira lebih besar dari kebahagiaanku melihat anak2ku gembira…”
سبحان الله العظيم
Aku sangat tersentuh dg kata2nya…dan aku pun pura2 melihat ke lembaran data ibunya.
Lalu aku bertanya lagi : “Apakah Anda punya saudara?”
Ia menjawab : “Aku putranya semata wayang, karena ayahku menceraikannya sebulan setelah pernikahan mereka”
Aku bertanya : “Jadi Anda dirawat ayah?”
Ia menjawab : “Tidak, tapi nenek yg merawatku dan ibuku.
Nenek telah meninggal – semoga Allah SWT merahmatinya – saat aku berusia 10 tahun”
Aku bertanya : “Apakah ibumu merawatmu saat Anda sakit, atau ingatkah Anda bhw ibu pernah memperhatikan Anda?
Atau dia ikut bahagia atas kebahagiaan Anda, atau sedih karena kesedihan Anda?”
Ia menjawab : “Dokter…sejak aku lahir ibu sdh tak mengerti apa2…kasihan dia…dan aku sudah merawatnya sejak usiaku 10 tahun”
Aku pun menuliskan resep serta menjelaskannya…
Ia memegang tangan ibunya dan berkata : “Mari kita ke kedai..”
Ibunya menjawab : “Tidak, aku sekarang mau ke Makkah saja!”
Aku heran mendengar ucapan ibu tersebut…
Maka aku bertanya padanya : “Mengapa ibu ingin pergi ke Makkah?”
Ibu itu menjawab dg girang : “Agar aku bisa naik pesawat!”
Aku pun bertanya pada putranya : “Apakah Anda akan benar2 membawanya ke Makkah?”
Ia menjawab : “Tentu…aku akan mengusahakan berangkat kesana akhir pekan ini”
Aku katakan pada pemuda itu : “Tidak ada kewajiban umrah bagi ibu Anda…lalu mengapa Anda membawanya ke Makkah?”
Ia menjawab : “Mungkin saja kebahagiaan yg ia rasakan saat aku membawanya ke Makkah akan membuat pahalaku lebih besar daripada aku pergi umrah tanpa membawanya”.
Lalu pemuda dan ibunya itu meninggalkan tempat praktekku.
"
Aku pun segera meminta pada perawat agar keluar dari ruanganku dg alasan aku ingin istirahat…
Padahal sebenarnya aku tak tahan lagi menahan tangis haru…
Aku pun menangis sejadi-jadinya menumpahkan seluruh yg ada dlm hatiku…
Aku berkata dlm diriku : “Begitu berbaktinya pemuda itu, padahal ibunya tak pernah menjadi ibu sepenuhnya…
Ia hanya mengandung dan melahirkan pemuda itu…
Ibunya tak pernah merawatnya…
Tak pernah mendekap dan membelainya penuh kasih sayang…
Tak pernah menyuapinya ketika masih kecil…
Tak pernah begadang malam…
Tak pernah mengajarinya…
Tak pernah sedih karenanya…
Tak pernah menangis untuknya…
Tak pernah tertawa melihat kelucuannya…
Tak pernah terganggu tidurnya disebabkan khawatir pada putranya…
Tak pernah….dan tak pernah…!
Walaupun demikian…pemuda itu berbakti sepenuhnya pada sang ibu”.
Apakah kita akan berbakti pada ibu2 kita yg kondisinya sehat….
seperti bakti pemuda itu pada ibunya yg memiliki keterbelakangan mental???.
Ya Allah, ampuni kami, maafkan kesalahan dan kekhilafan kami yg telah meninggalkan bakti kami kpd orang tua kami terutama kpd ibu yg telah mengandung, merawat dan membelai kami.
Dialah yg membelikan kami baju baru, memandikan kami dan memakaikan baju baru setiap Iedul Fitri.
Tapi disaat kami sdh dewasa, kami tak pernah ingat lagi dg jasa beliau dan tak pernah berupaya utk membelikannya baju baru.
رب اغفر لي و لوالدي وارحمهما كما ربياني صغيرا
Met merenung
Smg bermanfaat
Salam Cinta.....
Sumber : Masih Dilacak
Suatu hari, masuklah seorang wanita lanjut usia ke ruang praktek saya di sebuah Rumah Sakit.
Wanita itu ditemani seorang pemuda yg usianya sekitar 30 tahun.
Saya perhatikan pemuda itu memberikan perhatian yg lebih kpd wanita tersebut dg memegang tangannya, memperbaiki pakaiannya, dan memberikan makanan serta minuman padanya…
Setelah saya menanyainya seputar masalah kesehatan dan memintanya utk diperiksa, saya bertanya pada pemuda itu tentang kondisi akalnya, karena saya dapati bhw perilaku dan jawaban wanita tersebut tak sesuai dg pertanyaan yg ku ajukan (ga nyambung).
Pemuda itu menjawab :
“Dia ibuku, dan memiliki keterbelakangan mental sejak aku lahir”
Keingintahuanku mendorongku utk bertanya lagi : “Siapa yg merawatnya?”
Ia menjawab : “Aku”
Aku bertanya lagi : “Lalu siapa yg memandikan dan mencuci pakaiannya?”
Ia menjawab : “Aku suruh ia masuk ke kamar mandi dan membawakan baju untuknya serta menantinya hingga ia selesai.
Aku yg melipat dan menyusun bajunya di lemari.
Aku masukkan pakaiannya yg kotor ke dalam mesin cuci dan membelikannya pakaian yg dibutuhkannya”
Aku bertanya : “Mengapa engkau tak mencarikan untuknya pembantu?”
Ia menjawab : “Karena ibuku tidak bisa melakukan apa2 dan seperti anak kecil, aku khawatir pembantu tak memperhatikannya dg baik dan tak dapat memahaminya, sementara aku sangat paham dg ibuku”
Aku terperangah dg jawabannya dan baktinya yg begitu besar..
Aku pun bertanya : “Apakah engkau sdh beristri?”
Ia menjawab : “Alhamdulillah, aku sdh beristri dan punya beberapa anak”
Aku berkomentar : “Kalau begitu berarti istrimu juga ikut merawat ibumu?”
Ia menjawab : “Istriku membantu semampunya, dia yg memasak dan menyuguhkannya kpd ibuku.
Aku telah mendatangkan pembantu utk istriku agar dapat membantu pekerjaannya.
Akan tetapi aku berusaha selalu utk makan bersama ibuku supaya dapat mengontrol kadar gulanya”
Aku Tanya : “Memangnya ibumu juga terkena penyakit Gula?”
Ia menjawab : “Ya, (tapi tetap saja) Alhamdulillah atas segalanya”
Aku semakin takjub dg pemuda ini dan aku berusaha menahan air mataku…
Aku mencuri pandang pada kuku tangan wanita itu, dan aku dapati kukunya pendek dan bersih.
Aku bertanya lagi : “Siapa yg memotong kukunya?”
Ia menjawab : “Aku. Dokter, ibuku tak dapat melakukan apa2”
Tiba2 sang ibu memandang putranya dan bertanya seperti anak kecil : “Kapan engkau akan membelikan untukku kentang?”
Ia menjawab : “Tenanglah ibu, sebentar kita akan pergi ke kedai”
Ibunya meloncat-loncat karena kegirangan dan berkata : “Sekarang…sekarang!”
Pemuda itu menoleh kepadaku dan berkata : “Demi Allah, kebahagiaanku melihat ibuku gembira lebih besar dari kebahagiaanku melihat anak2ku gembira…”
سبحان الله العظيم
Aku sangat tersentuh dg kata2nya…dan aku pun pura2 melihat ke lembaran data ibunya.
Lalu aku bertanya lagi : “Apakah Anda punya saudara?”
Ia menjawab : “Aku putranya semata wayang, karena ayahku menceraikannya sebulan setelah pernikahan mereka”
Aku bertanya : “Jadi Anda dirawat ayah?”
Ia menjawab : “Tidak, tapi nenek yg merawatku dan ibuku.
Nenek telah meninggal – semoga Allah SWT merahmatinya – saat aku berusia 10 tahun”
Aku bertanya : “Apakah ibumu merawatmu saat Anda sakit, atau ingatkah Anda bhw ibu pernah memperhatikan Anda?
Atau dia ikut bahagia atas kebahagiaan Anda, atau sedih karena kesedihan Anda?”
Ia menjawab : “Dokter…sejak aku lahir ibu sdh tak mengerti apa2…kasihan dia…dan aku sudah merawatnya sejak usiaku 10 tahun”
Aku pun menuliskan resep serta menjelaskannya…
Ia memegang tangan ibunya dan berkata : “Mari kita ke kedai..”
Ibunya menjawab : “Tidak, aku sekarang mau ke Makkah saja!”
Aku heran mendengar ucapan ibu tersebut…
Maka aku bertanya padanya : “Mengapa ibu ingin pergi ke Makkah?”
Ibu itu menjawab dg girang : “Agar aku bisa naik pesawat!”
Aku pun bertanya pada putranya : “Apakah Anda akan benar2 membawanya ke Makkah?”
Ia menjawab : “Tentu…aku akan mengusahakan berangkat kesana akhir pekan ini”
Aku katakan pada pemuda itu : “Tidak ada kewajiban umrah bagi ibu Anda…lalu mengapa Anda membawanya ke Makkah?”
Ia menjawab : “Mungkin saja kebahagiaan yg ia rasakan saat aku membawanya ke Makkah akan membuat pahalaku lebih besar daripada aku pergi umrah tanpa membawanya”.
Lalu pemuda dan ibunya itu meninggalkan tempat praktekku.
"
Aku pun segera meminta pada perawat agar keluar dari ruanganku dg alasan aku ingin istirahat…
Padahal sebenarnya aku tak tahan lagi menahan tangis haru…
Aku pun menangis sejadi-jadinya menumpahkan seluruh yg ada dlm hatiku…
Aku berkata dlm diriku : “Begitu berbaktinya pemuda itu, padahal ibunya tak pernah menjadi ibu sepenuhnya…
Ia hanya mengandung dan melahirkan pemuda itu…
Ibunya tak pernah merawatnya…
Tak pernah mendekap dan membelainya penuh kasih sayang…
Tak pernah menyuapinya ketika masih kecil…
Tak pernah begadang malam…
Tak pernah mengajarinya…
Tak pernah sedih karenanya…
Tak pernah menangis untuknya…
Tak pernah tertawa melihat kelucuannya…
Tak pernah terganggu tidurnya disebabkan khawatir pada putranya…
Tak pernah….dan tak pernah…!
Walaupun demikian…pemuda itu berbakti sepenuhnya pada sang ibu”.
Apakah kita akan berbakti pada ibu2 kita yg kondisinya sehat….
seperti bakti pemuda itu pada ibunya yg memiliki keterbelakangan mental???.
Ya Allah, ampuni kami, maafkan kesalahan dan kekhilafan kami yg telah meninggalkan bakti kami kpd orang tua kami terutama kpd ibu yg telah mengandung, merawat dan membelai kami.
Dialah yg membelikan kami baju baru, memandikan kami dan memakaikan baju baru setiap Iedul Fitri.
Tapi disaat kami sdh dewasa, kami tak pernah ingat lagi dg jasa beliau dan tak pernah berupaya utk membelikannya baju baru.
رب اغفر لي و لوالدي وارحمهما كما ربياني صغيرا
Met merenung
Smg bermanfaat
Salam Cinta.....
Sumber : Masih Dilacak
Post a Comment for "Anak Merawat Orang Tua, Bakti yang Tak Terukur"