Cerita Gempa Tsunami Palu; Ini Bukan Sinetron
Ini Buka Sinetron
Oleh : Cut Cynthia Sativa
Untukmu, yang tidak pernah melihat dengan mata kepalamu sendiri bagaimana gelombang laut bangkit berdiri membentuk dinding maut kemudian menjelma menjadi mesin pembunuh massal...
Untukmu, yang tidak pernah melihat dengan mata kepalamu sendiri bagaimana gelombang laut bangkit berdiri membentuk dinding maut kemudian menjelma menjadi mesin pembunuh massal...
...mungkin jejak rekam yang berseliweran di linimasamu tak ubahnya hanya cuplikan sinema box office produksi Hollywood.
Untukmu, yang tidak pernah berhamburan lari menyelamatkan nyawa dari
guncangan dahsyat yang tiba-tiba membelah bumi di bawah kakimu dan
menelan seluruh harta bendamu di depan mata...
...mungkin breaking news di TV Nasional itu terlihat seperti tayangan dengan spesial efek yang berlebihan.
Untukmu, yang tidak pernah dilanda tremor tak terkendali ketika dipaksa
mengarungi lautan mayat yang bergelimpangan demi mengenali orang-orang
yang kau cintai...
...mungkin gambar-gambar yang silih berganti muncul di layar media sosial kau samakan dengan klimaks serial zombie kegemaranmu.
Untukmu, yang tidak pernah menyaksikan tubuh-tubuh kaku yang tak
diacuhkan lagi status jabatan dan aset intan berliannya, disusun
bertumpukan dalam liang lahat raksasa yang menganga tanpa sempat
disucikan dan dikafani...
...mungkin kepiluan itu terasa hanya sebatas propaganda sadis kiriman dari negeri para zionis.
Untukmu, yang tidak pernah mendadak tercerai berai dengan orang-orang
terkasih yang satu menit sebelumnya masih berbagi hangatnya genggaman
tangan...
...mungkin pekik jerit para korban terdengar bagaikan rekayasa plot sinetron pukul delapan malam.
Untukmu, yang tidak pernah histeris menuju gila dirajam waktu yang
berlalu tanpa mendapat kepastian hidup atau matinya ayah, ibu, anak,
adik dan kakakmu...
...mungkin tidak begitu menghargai sisa waktu yang kau miliki bersama keluarga.
Untukmu, yang tidak pernah mengalami betapa sakitnya penyesalan karena
tak sempat mengucapkan selamat jalan terakhir kepada manusia-manusia
yang sedarah daging denganmu...
...mungkin ucapan belasungkawa sekadarnya kau pikir cukup untuk membalut luka.
Untukmu, yang tidak mampu mencerna bagaimana rasanya menangis tanpa lagi ada sisa air mata...
...mungkin segala kepedihan di atas itu hanya bertahan satu hari saja dalam benakmu.
.
.
.
.
Tapi bagi Aceh, 14 tahun berlalu mimpi buruk itu masih bertahta sehebat hari pertama ia ditoreh.
Bagi Nias, 13 tahun berlalu duka itu masih mengikuti walaupun dengan susah payah berusaha ikhlas.
Bagi Jogja, 12 tahun berlalu kenangan itu masih menyisakan gentar tiada tara.
Bagi Padang, 9 tahun berlalu tak jua menghapus kengerian yang membangkitkan gamang.
Bagi Lombok, tak perlu ditanya lagi bagaimana traumatisnya mereka tertohok.
Apatah lagi bagi Palu yang baru mengecap kiamat kecil itu hanya beberapa waktu yang lalu...
.
.
.
.
Kami sadar sepenuhnya bahwa kepedihan yang disisakan oleh bencana
sejatinya hanyalah milik mereka yang terpilih untuk melakoninya. Sadar
bahwa bagi mereka yang berada jauh dari episentrum malapetaka, peristiwa
ini hanyalah selembar halaman berita yang langsung basi ketika
disodorkan halaman berikutnya.
Maka betapa kami jeri ketika
mendapatimu, wahai secuil kerikil tak berarti, masih saja fasih menghina
namaNya disaat kami meraung-raung menyebut Nama yang sama agar
diberikan kesempatan melanjutkan nyawa.
Kami patah arang
mendapati jari jemarimu masih saja terampil menghasilkan hujat dan
fitnah yang kau hidangkan di linimasamu disaat kami dihadapkan pada
hidangan puing-puing kayu, batu, lumpur, darah dan jenazah.
Kau
masih saja bangga memperjuangkan hak-hak kaummu yang menyimpang jauh ke
arah neraka.
Kau masih saja tak punya malu mempertontonkan riba, maksiat
dan tipu daya. Jabatan-jabatanmu yang mulia kau coreng dengan kelakuan
yang hina dina. Kerajaan-kerajaan bisnismu masih terus gigih
menghancurkan generasi emas negeri ini, generasi yang sejatinya
dipersiapkan para orangtua sebagai harta jariyah mereka yang tak
ternilai harganya.
Maafkan kami yang meminta perhatianmu untuk
tidak sesegera itu menganggap kami berita basi tanpa ada hujjah yang
bisa kau bungkus sebagai bekal disisa hidupmu.
Maafkan kami
karena meminta satu dua menit dari waktumu untuk menemani kami dalam
doa-doamu, hanya supaya kau tergerak untuk mendoakan dirimu sendiri agar
tidak terpilih sebagai contoh berikutnya.
Kami bersumpah demi
namaNya bahwa kami tidak pernah meminta untuk dijadikan iktibar bagimu,
namun apadaya nama-nama kami sudah tercabut dalam undian berdarah ini.
Tak ada lagi yang dapat kami lakukan selain bersujud memohon ampunan
Yang Maha Kuasa apabila malapetaka yang dihunjamkanNya bertubi-tubi pada
tanah-tanah kami masih saja tak sanggup membobol dinding taubatmu...
Astaghfirullah robbal barroya.
Astaghfirullah minal khotoya.
Astaghfirullah minal khotoya.
- Cut Cynthia Sativa -
=================================
"Tak ada suatu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya SEBELUM HARI KIAMAT atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. Yang demikian itu TELAH TERTULIS di dalam kitab Lauhul Mahfuzh."
"Tak ada suatu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya SEBELUM HARI KIAMAT atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. Yang demikian itu TELAH TERTULIS di dalam kitab Lauhul Mahfuzh."
[QS. Al - Isra' ayat 58]
=================================
Foto : Liputan 6
=================================
Foto : Liputan 6
Post a Comment for "Cerita Gempa Tsunami Palu; Ini Bukan Sinetron "