Tradisi Tenun Ikat Nusantara dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah
Sulawesi adalah pulau berbentuk bunga anggrek yang terletak di sebelah selatan Kalimantan. Dilihat sebagai sebuah pulau secara keseluruhan, dengan berbagai budaya yang ada, variasi teknik tenun yang ditemukan di pulau ini sangat mengagumkan. Selain kain kulit kayu yang dibuat di pedalaman Sulawesi Tengah, ditemukan juga tenun sutera kotak-kotak dan ikat pakan uang dibuat oleh orang Bugis., tenun lompat lungsi dari katun, kainnya disebut pinatikan, dan tenun pakn tambahan yang dibuat dari serat pisang di Sulawesi Utara., serta tenun ikat lungsi di Galumpang dan Rongkong, masing-masing di Sulawesi barat dan Sulawesi Selatan.
Sulawesi Selatan : Bugis dan Makassar
Masyarakat Bugis dan Makassar dikenal sebagai pelaut tangguh yang telah mengembara jauh untuk berdagang dengan kapal mereka, meninggalkan istri-istrinya untuk menjaga rumah dan menenun wastra, di antaranya. Kadang-kadang para pedagang tersebut membawa keluarganya untuk menetap di tempat baru yang menjanjikan di daerah pesisisr di sekitar Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, dan di seluruh Indonesia. Mereka juga menetap di berbagai tempat di Malaysia dan Singapura.
Dalam sejarahnya, perempuan di Sulawesi Selatan telah membuat tenun dari sutera yang sangat halus. Menurut Fraser-Lu, sekitar tahun 1701, Nicolas Gervais, pedagang asing yang menetap di Makassar, menyebutkan tentang banyaknya tenun katun dan sutera yang tersediannya di gudang-gudang. Kota Sengkang di Kabupaten Wajo yang terletak di tepi Danau Tempe, sekitar 150 km sebelah utara Makassar, merupakan pusat tenun sutera yang penting.
Sarung Bugis memiliki warna-warna cerah, seperti merah tua, ungu, pirus, merah dan hijau muda merupakan nuansa warna yang disukai. Selain ragam hias kotak-kotak, penenun Bugis juga membuat sarung dengan hiasan ikat pakan. Ragam hias ikat disebut bombang. Motifnya berupa zigzag menggambarkan stilasi ombak samudera, spiral dan bunga-bunga. Kadang ragam hias ikat pakan di temukan di bagian kepala sarung, sedangkan bagian badan memilki ragam hias kotak-kotak atau geometris. Pada kesempatan lain, seluruh bagian sarung diberi hiasan ikat pakan.
Salah satu jenis ragam hias berbentuk bunga yang dibuat dengan teknik ikat pakan disebut Sarung Samarinda, berarti Sarung dari Samarinda ( Kalimantan Timur ) karena jenis ragam hiasnya dipercaya berasal dari Samarinda.
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat : Rongkong dan Galumpang
Rongkong di Sulawesi Selatan dan Galumpang di Sulawesi Barat dulu pernah membuat selimut ikat lungsi yang digunakan untuk upacara pemakaman. Wastra berukuran besar ini digunakan untuk menghias ruang upacara, menerima tamu, dan membungkus jenazah. Wastra tersebut juga merupakan bagian dari mahar dan digunakan untuk membayar hutang, dan digunakan untuk menandai wilayah yang dijadikan tempat upacara. Selimut ini diberi hiasan dengan komposisi geometris yang kaku berdasarkan pada bentuk kait, wajik, zigzag, segi tiga berwarna merah atau dalam bingkai putih di atas latar berwarna biru atau hitam keunguan.
Wastra dari Rongkong (untuk masyarakat To Rongkong) dan Galumpang (untuk masyarakat To Makki) didominasi oleh motif kait berbentuk belah ketupat yang disebut sekong atau sekon yang dapat dilihat sebagai gambaran abstrak nenek moyang. Bentuk belah ketupat adalah bagian badan, sedangkan bentuk kait adalah lengannya.
Lebih jauh ke utara, di daerah masyarakat pembuat kain kulit kayu di Sulawesi Tengah, selimut tenun ikat lungsi ini sangat diminati. Selimut tersebut diperoleh dengan cara dipertukarkan, harganya dihitung berdasarkan harga kerbau yang merupakan mata uang yang berlaku saat itu di daerah tersebut. Selimut tersebut dipakai untuk pakaian upacara, sebagai rok perempuan yang dilipat menjadi dua atau tiga bagian atasan baju kulit kayu.
Awalnya, selimut lebar ini dibuat dari kapas pital tangan yang ditanam sendiri. Diperlukan waktu berbulan-bulan untuk membuatnya, karena dibutuhkan waktu untuk memperoleh warna yang diinginkan menggunakan pewarna alami. Saat ini, terdapat beberapa perempuan To Makki yang masih membuat selimut secara tradisional menggunakan benang kapas pital tangan dan pewarna alami, tetapi sebagian besar telah digantikan oleh benang yang dibeli di toko dan pewarna sintesis.
Karena permintaan dari wisatawan, saat ini banyak dibuat tiruan dari selimut tradisional di daerah Rantapeo, ibukota Kabupaten Toraja Utara, sebuah kabupaten di bagian utara Provinsi Sulawesi Selatan.
Sulawesi Tengah : Donggala
Para penenun ikat di Sulawesi Tengah tinggal di kota Donggala dan sekitarnya. Di sini, sarung kotak-kotak dan songket juga dibuat selain tenun ikat pakan. Tenun Donggala merupakan bagian penting dari pakaian tradisional, terutama di daerah pesisir, seperti yang dipakai oleh orang Kaili dan Panoma.
Tenun Donggala memiliki ciri khas ragam hias tersendiri berupa bentuk bunga dan daun yang digabungkan dengan motif geometris. Sarung yang memiliki ragam hias ikat pakan disebut . Terdapat dua ragam hias dalam sebuah wastra : ragam hias yang terdapat pada bagian badan dan bagian kepala, yang dicirikan oleh garis-garis diagonal yang diisi dengan taburan bunga dengan bentuk yang sama dengan bagian badan. Ragam hiasnya kebanyakan diberi nama berdasarkan nama tumbuhan, seperti tavanggadue atau daun keladi, sesekaranji atau ragam hias keranjang, dan bomba kota atau bunga-bunga didalam kotak. Pada mulanya warna yang digunakan berasal dari tumbuh-tumbuhan, tetapi saat ini telah digantikan dengan pewarna sintesis. Dahulu, untuk membuat wastra tenun hanya digunakan sutera asli, tetapi saat ini diperkenalkan juga benang rayon.
Catatan :
Tulisan ini diangkat dari Buku Tradisi Tenun Ikat Nusantara, Karya Benny Gratha dan Judi Achjadi, Terbitan BAB PUBLISHIN INDONESIA pada tahun 2016, halaman 88-99
Post a Comment for "Tradisi Tenun Ikat Nusantara dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah"